Thursday, August 2, 2018

Konservasi in vitro plasma nutfah tumbuhan


Thursday, 08 December 2016 06:21 | Written by Sumaryono, MSc | Print E-mail
Konservasi in vitro menawarkan alternatif penyimpanan plasma nutfah tumbuhan yang memiliki biji rekalsitran (tidak dapat disimpan) atau berkembang biak secara vegetatif, serta menyediakan bahan tanaman steril untuk pertukaran plasma nutfah dan untuk propagasi tanaman secara massal. Konservasi in vitro terdiri dari dua metode yaitu penyimpanan jangka menengah dengan pertumbuhan lambat (lingkungan dan media tumbuh minimal) dan penyimpanan jangka panjang dengan cryopreservation (dalam tabung dengan suhu minus 196 °C).
Plasma nutfah organisme (tumbuhan, hewan, mikroba) saat ini sudah dipandang sebagai salah satu sumber daya alam yang sangat penting, terutama dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan, energi, dan kesehatan. Konservasi plasma nutfah tumbuhan berpacu dengan waktu seiring makin cepatnya plasma nutfah tersebut menghilang akibat konversi areal ke pengusahaan tanaman pertanian yang lebih menguntungkan atau ke peruntukan lain seperti kawasan industri, properti, dan infrastruktur [1]. Banyak spesies tumbuhan yang punah sebelum ditemukan oleh manusia, yang mungkin di antaranya mengandung senyawa aktif atau sifat genetik yang bermanfaat di masa depan.
Konservasi plasma nutfah dapat dilakukan dengan mengoleksi plasma nutfah di habitat aslinya (konservasi in situ) atau di lokasi di luar habitat alaminya (konservasi ex situ). Satu contoh konservasi in situ adalah koleksi anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di cagar alam Kersik Luwai, Kutai Barat, Kalimantan Timur yang merupakan habitat alaminya. Konservasi ex situ meliputi penyimpanan benih (untuk biji ortodoks), kebun koleksi (kebun raya, arboretum, taman nasional, kebun koleksi khusus), dan konservasi in vitro.
Konservasi in vitro (dalam tabung di laboratorium) sangat penting terutama untuk tumbuhan yang menghasilkan biji rekalsitran, yang daya perkecambahannya menurun drastis dalam waktu singkat (misalnya biji kakao, karet, kelapa sawit, sebagian besar tumbuhan hutan tropis), dan tumbuhan yang berkembang biak secara vegetatif (misalnya pisang, kentang, ubi-ubian) [2, 3]. Konservasi in vitromemerlukan ruang yang tidak luas, pemeliharaan relatif murah dan mudah, tidak ada gangguan biotik (hama, penyakit, manusia) dan abiotik (bencana alam), serta pengiriman bahan tanaman ke lokasi atau negara lain lebih murah dan mudah karena ukurannya lebih kecil dan dalam kondisi steril.
Konservasi in vitro adalah melakukan penanaman plasma nutfah pada media buatan dalam tabung kultur di laboratorium. Terdapat dua metode konservasi in vitro yaitu penyimpanan jangka menengah dengan pertumbuhan lambat atau minimal dan penyimpanan jangka panjang dengan cryopreservation [4, 5]. Metode pertumbuhan lambat (slow growth) pada prinsipnya adalah menyediakan lingkungan dan media tumbuh yang paling minimal sehingga laju metabolisme propagula in vitro tanaman (berupa kalus, embrio somatik, tunas atau planlet) berlangsung sangat lambat. Tujuannya adalah untuk memperjarang periode subkultur sehingga biaya pemeliharaan lebih murah.
Untuk memperlambat pertumbuhan dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan dan media tumbuh. Kondisi lingkungan diminimalkan dengan menurunkan suhu, untuk tumbuhan tropis pada 15-20 °C, dan menurunkan intensitas cahaya. Media tumbuh minimal diperoleh dengan menurunkan kandungan sumber karbohidrat dan hara mineral (menjadi ½ atau ¼ dosis), menambahkan senyawa osmotikum seperti manitol dan sorbitol, serta zat penghambat tumbuh misalnya ancymidol, paclobutrazol, CCC, dan ABA. Apabila akan dimanfaatkan untuk program pemuliaan atau propagasi massal, propagula ditransfer ke media optimal dan akan tumbuh kembali dengan normal. Sebagian besar konservasi in vitro tanaman menggunakan metode pertumbuhan lambat ini karena lebih murah dan mudah dibandingkan dengan cryopreservation. Dari 28.000 aksesi tanaman yang berkembang biak secara vegetatif seperti pisang, ubi kayu, kentang, ubi jalar, yam, dan ubi-ubian lain, 85% di antaranya dikoleksi in vitro dengan cara pertumbuhan lambat dan 10% dengan cryopreservation [6].
Penyimpanan dengan metode cryopreservation semakin banyak digunakan [2] karena dapat menyimpan plasma nutfah dalam jangka panjang. Propagula disimpan dalam tabung berisi nitrogen cair dengan suhu minus 196°C yang menyebabkan laju metabolisme propagula yang disimpan praktis berhenti. Propagula yang disimpan seyogianya berukuran kecil, dapat berupa kalus, sel, protoplas, embrio (zigotik dan somatik), planlet, tunas, atau pucuk meristem. Untuk mempertahankan keutuhan membran sel dan meningkatkan potensial osmotik, propagula tersebut ditambah cryoprotectant yakni DMSO (dimetil sulfoksida) plus sorbitol, gliserol, manitol, atau sukrosa. Penurunan suhu saat disimpan dan penghangatan kembali (thawing) harus dilakukan dengan prosedur spesifik yang sesuai untuk masing-masing spesies tanaman. Kesulitan teknis ini serta mahalnya peralatan dan pemeliharaan menyebabkan metode cryopreservation belum banyak digunakan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, biaya konservasi ubi kayu dengan teknologi cryopreservation sebesar US$ 89.35/aksesi/tahun sekitar 7,5 kali lebih mahal dari konservasi in vitro pertumbuhan lambat yaitu US$ 11.98/aksesi/tahun [7]. Namun, metode cryopreservation mempunyai kelebihan yakni dapat digunakan untuk penyimpanan dalam jangka panjang, propagula tetap juvenil, dan kemungkinan terjadinya mutasi lebih rendah dibanding metode pertumbuhan lambat dengan subkultur berulang-ulang.
Konservasi in vitro mensyaratkan bahwa bahan plasma nutfah yang disimpan harus tetap hidup dan tumbuh kembali secara normal saat dikultur pada media yang optimal. Selain itu, tidak boleh ada perubahan genetik yang terjadi pada plasma nutfah tumbuhan setelah penyimpanan. Oleh karena itu, bahan eksplan yang digunakan untuk penyimpanan sebaiknya berupa jaringan yang telah terdiferensiasi seperti embrio, tunas, planlet, atau pucuk meristem dibandingkan dengan jaringan yang belum terdiferensiasi seperti kalus, sel atau protoplas. Untuk memantau kestabilan genetik bahan tanaman tersebut telah dikembangkan penanda molekuler seperti RAPD, AFLP, ISSR dan SNP dalam pengelolaan konservasi plasma nutfah tumbuhan [8].
Referensi
1. Butchart SHM, M Walpole, B Collen et al. (2010) Global biodiversity: indicators of recent declines. Science 328: 1164-1168.
2. Cruz-Cruz CA, MT González-Arnao & F Engelmann (2013) Biotechnology and conser-vation of plant biodiversity. Resources 2: 73-95.
3. Engelmann F (2011) Use of biotechnologies for conserving plant biodiversity. In Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 47: 5-16.
4. Cha-um S & C Kirdmanee (2007) Minimal growth in vitro culture for preservation of plant species. Fruit, Veg. Cereal Sci. Biotechnol. 1(1): 13-25.
5. Shibli RA, MA Shatnawi, WS Subaih & MM Ajlouni (2006) In vitro conservation and cryopreservation of plant genetic resources: a review. World J. Agric. Sci. 2(4): 372-382.
6. Benson EE, K Harding, D Debouck et al. (2011) Refinement and standardization of storage procedures for clonal crops - Global Public Goods Phase 2: Part I. Project landscape and general status of clonal crop in vitro conservation technologies. System-wide Genetic Resources Programme, Rome, Italy. 82p.
7. Koo B, P Pardey & B Wright (2003) The price of conserving agricultural biodiversity. Nature Biotechnol. 21: 126-128.
8. Spooner D, R van Treuren & MC de Vicente (2005) Molecular markers for genebank management. IPGRI Technical Bulletin No.10. International Plant Genetic Resources Institute, Rome, Italy. 126p.


sumber

No comments:

Post a Comment