Monday, January 20, 2020

HAMA DAN PENYAKIT YANG SERING MENYERANG JAHE (Bag. 1)





Hama dan penyakit yang sering menyerang  jahe merah, kudu alias wajib kita ketahui pada saat kita memutuskan mencoba budidaya tanaman ini.  Serangan hama dan penyakit sedapat mungkin kita cegah, karena ini adalah cara yang terbaik.  Namun apabila serangan terhadap tanaman sudah terlanjur terjadi, setidaknya ada usaha dan cara untuk menanggulanginya.

Nah, tulisan ini saya bagi  agar anda setidaknya lebih pede dalam budidaya Jahe, khususnya Jahe Merah.  Materi saya ambil dari sono-sini, dikumpulkan dan di-edit ulang dengan harapan lebih praktis untuk dipelajari.

Pendahuluan

Tanaman Jahe, seperti pada tulisan saya sebelumnya MENANAM JAHE MERAH MUNGKINKAH JADI MILYUNER ? merupakan salah satu tanaman komoditi dengan pemanfaatan yang cukup luas.  Mulai dari pemanfaatan sebagai bumbu masakan, makanan olahan, maupun sebagai bahan untuk dipakai di bidang kesehatan atau pengobatan.
Permintaan terhadap tanaman ini termasuk sangat besar baik untuk konsumsi dalam negeri maupun untuk ekspor. Namun sayang peningkatan permintaan jahe tersebut belum dapat diimbangi oleh peningkatan produksi (Paimin, 1999).  Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, untuk memenuhi permintaan dalam negeri, terpaksa dilakukan impor komoditi ini.
Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya produksi Jahe ini, selain teknis budidaya yang kurang produktif juga diakibatkan oleh adanya serangan terutama dari penyakit yang menyerang rimpang.  Pada kondisi kronis, serangan terhadap rimpang tersebut dapat menyerang sampai 90 % populasi jahe yang dibudidayakan dan berpotensi mengakibatkan gagalnya panen.  Berbagai penelitian pun telah dilakukan, baik oleh pemerintah melalui Balitro (Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik) maupun oleh pihak-pihak dari kalangan akademisi

Jenis Hama dan Penyakit

Untuk memudahkan, hama dan penyakit ini selanjutnya kita sebut sebagai OPT saja ya, atau singkatan dari Organisme Pengganggu Tanaman.
Kategori OPT pertama di sini adalah tumbuhan-tumbuhan pengganggu tanaman jahe.  OPT jenis  ini berupa rumput-rumput liar seperti rumput teki, maupun tumbuhan lain misalnya babadotan.  Penanggulangan terhadap hama dapat dilakukan relatif mudah, yaitu dengan sering menyiangi tanaman jahe.  Pola tanam dengan menggunakan Polybag atau Karung (vertikultur) memiliki kemudahan dari segi penanggulangan hama ini. Pertumbuhan tumbuhan pengganggu dapat terisolir dan relatif lebih mudah dan cepat pada saat menyianginya.
Pertumbuhan tanaman pengganggu seperti rumput liar juga dapat dihambat dengan adanya pemberian obat anti atau penghambat gulma.  Di pola tanam organik HCS dikenal pemakaian PHEFOC.
Jenis OPT lain yang dominan terhadap tanaman Jahe, berdasarkan hasil penelitian Balitro adanya penyakit layu bakteribusuk rimpang dan beberapa penyakit lain yang menyertainya. Penyebaran penyakit-penyakit tersebut ternyata sebarannya cukup luas dengan tingkat serangan dan akibat yang cukup beragam pula. Weleh-weleh...ternyata tanaman jahe banyak peminatnya juga ya selain diminati kita.  Tenaang,...go on
Menurut pendapat Rothman, seorang ahli. Pada tahun 1995 menyatakan bahwa besarnya populasi tanaman yang terkena serangan penyakit pada waktu tertentu menentukan prevalensi penyakitnya.  Apaan prevalensi itu ? Secara garis besar, prevalensi adalah jumlah keseluruhan kasus suatu penyakit yang terjadi pada suatu waktu tertentu di suatu wilayah. Mengerti ya ?
Kaitannya dengan prevalensi tersebut, para ahli yaitu Zadoks and Schein (1979), Campbell (1986), dan Agrios (1997) menyatakan bahwa perkembangan penyakit pada tanaman yang dibudidayakan sangat dipengaruhi faktor epidemi, yaitu inang (ketahanan, jenis, jarak tanam, kepadatan, gejala, dan umur), patogen (virulensi/frekuensi serangan, kepadatan inokulum, ekologi, cara menyebar, dan tipe reproduksi), lingkungan (kelembapan dan suhu), waktu, dan tindakan manusia.  Nah, untuk lebih mengenal dan dekat dengan musuh-musuh kita tersebut, saya ajak anda membaca terus keterangan selanjutnya di bawah ini.

Penanganan dan Penanggulangan

A. Penyakit Layu Bakteri (Ralstonia solanacearum)

1. Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri ini sering ditemukan menyerang tanaman jahe di daerah tropis dan sub tropis yang beriklim lembab. Indonesia merupakan tempat favorit penyakit ini, serangannya dapat menyebabkan kehilangan produksi rimpang jahe hingga 90 % !!. Penyakit ini dapat dikatakan sebagai salah satu OPT utama dalam budidaya tanaman jahe.

2. Gejala

Pada umumnya gejala penyakit layu bakteri mulai muncul pada saat tanaman berumur 3 atau 4 bulan, ini terjadi dan dialami misalnya oleh para petani jahe di Cianjur. Gejala penyakit biasanya diawali dengan terjadinya daun-daun yang menguning dan menggulung. Gejala menguning pada daun tersebut pada umumnya dimulai dari bagian tepi dan berkembang keseluruh helaian daun (Lihat gambar A ).  Penyakit Layu BakteriSelanjutnya seluruh bagian daun menjadi kuning, layu, kering, dan tanaman menjadi mati. Pada bagian pangkal batang yang sakit terlihat gejala busuk kebasahan atau ”water soaked”. Pada batang yang sakit sering terlihat adanya garis-garis membujur yang berwarna hitam atau abu-abu yang merupakan jaringan yang rusak. Tanaman yang sakit batangnya akan mudah dicabut dan dilepas dari bagian rimpangnya. Apabila batang ditekan, dari penampang melintangnya akan terlihat adanya eksudat (cairan) bakteri yang keluar yang berwarna putih susu yang baunya khas sangat menyengat.

3. Patogen (penyebab timbulnya penyakit)

Penyebab penyakit layu pada tanaman jahe adalah bakteri R. solanacearum (Lihat Gambar B di samping kiri). PatogenMenurut Hayward (1986), R. solanacearum yang menyerang tanaman jahe tergolong dalam biovar 3 atau 4. Namun yang menyerang jahe di Malaysia tergolong dalam biovar 1 (Abdullah, 1982) Menurut Supriadi (1994), R. solanacearum yang menyerang tanaman jahe di Indoneisa termasuk dalam biovar 3 dan ras 4. Di Australia, R. solanacearum biovar 4 pada umumnya menyebabkan kerusakan yang parah dan berkembang sangat cepat, sedangkan biovar 3 umumnya menyebabkan gejala kerusakan lebih ringan. Menurut Hayward et al. (1967) dan Pegg and Moffett (1971), R. solanacearum biovar 3 jarang menyerang tanaman jahe.

4. Diagnosa dan Mengenal Ciri-ciri Penyakit Layu Bakteri

Untuk identifikasi panyakit layu bakteri ini di lapangan, mudah diketahui dengan cara memotong batang tanaman yang terinfeksi dan menekan penampang batangnya. Adanya eksudat bakteri berupa cairan yang berwarna putih susu dan berbau khas yang keluar dari permukaan potongan batang menandakan tanaman sudah terserang layu bakteri. Selain itu, potongan batang juga dapat dimasukkan ke dalam air di dalam gelas transparan. Adanya aliran eksudat bakteri yang keluar dari penampang melintang batang menandakan tanaman sudah terinfeksi layu bakteri.  Nah lho….
Di laboratorium penyakit layu bakteri dapat dideteksi baik dengan metode konvensional yaitu mengisolasi bakteri pada media agar, maupun secara serologi dengan teknik ELISA menggunakan antiserum khusus (Robinson 1993). Metode ini dapat mendeteksi R solanacearum dalam ekstrak tanaman dan tanah. Populasi bakteri terendah yang dapat dideteksi dengan metode ELISA yaitu 10 4 sel/ ml ekstrak tanaman atau tanah. Cara ini lebih praktis dibanding dengan cara konvensional, karena metoda ELISA dapat menguji banyak sampel dalam waktu yang lebih singkat. Deteksi patogen juga dapat dilakukan secara molekuler. Cara tersebut lebih cepat dan akurat, namun biayanya cukup mahal dan memerlukan tenaga ahli yang berpengalaman.  Bagi kita yang awam, identifikasi di laboratorium ini mungkin susah lah untuk dilakukan, paling mudah kita lakukan adalah dengan cara pertama saja.

5. Tumbuhan Inang Patogen

Bakteri R. solanacearum yang menyerang jahe juga mempunyai kisaran inang yang relatif terbatas. Hasil pengujian inokulasi secara buatan yang dilakukan di Filipina membuktikan bahwa isolat R. solanacearum asal jahe, virulen (arti virulen, lihat di sebelumnya-red) terhadap tanaman kentang dan terung, namun lemah virulensinya terhadap tomat. Di Malaysia, isolat R. solanacearum asal jahe kurang virulen terhadap tanaman tomat, tembakau, dan kacang tanah. Sementara isolat R. solanacearum asal tomat menimbulkan gejala khas pada tanaman tomat, tembakau, kacang tanah, dan jahe.
Hasil penelitian di rumah kaca dan pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa R. solanacearum asal jahe di Indonesia mempunyai beberapa inang, di antaranya adalah temu mangga (Curcuma mangga), temu putih (Z. cassumunar), tomat, terung, dan beberapa jenis gulma seperti babadotan (Ageratum sp.), meniran (Phylanthus niruri), Commelina sp., nanangkaan (Euphobia hirta), Spigelia anthelmia, Erechtites sp., ceplukan (Physalis angulata) dan Emmilia sp. Gulma krokot (Portulaca oleraceae) juga merupakan inang dari R. solanacearum namun tanaman yang terinfeksi kadang tidak menunjukkan gejala layu. Sementara isolat R. solanacearum asal jahe tidak virulen terhadap kacang tanah, cabe kriting, pisang, dan nilam.

6. Epidemiologi Penyakit

Penyakit layu bakteri pertama kali dilaporkan oleh Orian pada tahun 1953 di Mauritania. Selanjutnya penyakit tersebut juga ditemukan di beberapa Negara di Asia, Australia, dan Afrika seperti di China, Filipina, Hawai, India, Indonesia, Malaysia, dan Thailand (Hayward 1986).
Di Indonesia penyakit layu bakteri ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1971 di daerah Kuningan, Jawa Barat. Selanjutnya penyakit juga dilaporkan ada di daerah lain di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jambi, Lampung, Bengkulu, dan Sumatera Utara.
Bakteri R. solanacearum merupakan patogen tular tanah. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup dalam jangka waktu yang lama di dalam tanah. Penyebaran penyakit di dalam kebun dapat terjadi melalui tanah, akar, air, alat-alat pertanian, hewan, dan pekerja di lapangan. Sementara penyebaran jarak jauh dapat terjadi terutama melalui bibit rimpang yang telah terinfeksi.
Kondisi lingkungan sangat mempengaruhi kemampuan bertahan dari R. solanacearum. Kelembaban tanah yang tinggi dapat meningkatkan populasi bakteri. Sementara kandungan bahan organik tanah yang tinggi akan mengurangi populasinya demikian juga kondisi temperatur yang tinggi. Selain itu adanya tanaman inang pengganti sangat berpengaruh terhadap kemampuan bertahan hidup dari R. solanacearum.

7. Interaksi Dengan Nematoda Dan Lalat Rimpang

Bakteri R. solanacearum sering berasosiasi dengan nematoda. Serangan penyakit layu bakteri akan bertambah berat dengan adanya serangan nematoda (Vilsoni et al. 1979; Hayward 1991). Nematoda akan membuat luka pada akar dan rimpang yang memudahkan bakteri untuk menginfeksi tanaman. Menurut Mustika (1996) dan Nurawan et al. (1993), ada dua jenis nematoda yang sering ditemukan ada pada tanaman jahe yang juga terserang bakteri R. solanacearum di daerah Jawa Barat, Bengkulu, dan Sumatera Utara. Kedua jenis nematoda tersebut adalah Meloidogyne sp. dan Radopholus similis.
Disamping nematoda, lalat rimpang (Mimegralla coeruleifrons) juga sering ditemukan pada tanaman jahe yang terserang R. solanacearum. Di India juga dilaporkan bahwa lalat rimpang sering berasosiasi (bergabung) dengan R solanacearum (Jacob 1980). Lalat rimpang tersebut diduga yang membuat luka pada tanaman jahe, sehingga membantu bakteri untuk menginfeksi dan masuk kedalam jaringan tanaman jahe.

8. Penanggulangan Penyakit Layu Bakteri

Penyakit layu bakteri sangat sulit dikendalikan (naah, ini dia). Hal ini disebabkan karena sifat-sifat ekobiologi dari R. solanacearum yang sangat komplek. Berbagai cara pengendalian telah dilakukan, namun hasilnya masih kurang memuaskan. Oleh karena itu cara yang paling bijaksana adalah mencegah timbulnya penyakit di lapangan (pengendalian secara preventif).

a. Pencegahan penyakit

  • Lahan bebas patogen
Lahan bebas patogen merupakan persyaratan utama dalam pencegahan terjadinya penyakit layu bakteri. Hasil pengamatan di lapangan dan analisa di laboratorium menunjukkan bahwa ada beberapa jenis lahan yang berpotensi bebas dari patogen diantaranya adalah lahan bekas sawah beririgasi teknis. R solanacearum bersifat aerobik, sehingga tidak tumbuh pada keadaan kondisi an aerob seperti di lahan sawah.
Jahe membutuhkan kondisi lahan dengan aerasi yang baik, sehingga pada lahan bekas sawah yang akan ditanami jahe, tanah dibawah lapisan olahnya harus dipecah terlebih dahulu agar aerasinya menjadi lebih baik. Lahan lain yang mungkin bebas patogen adalah lahan yang belum pernah ditanami tanaman jahe atau lahan yang ditanami tanaman yang bukan inang R solanacearum dalam jangka waktu lama. Penanaman jahe secara berturut-turut pada lahan yang sama sebaiknya dihindari. Ada indikasi bahwa jahe yang ditanam pada lahan bekas tanaman sambiloto lebih sehat dan terhindar dari serangan layu bakteri. Namun fenomena ini masih perlu diteliti lebih lanjut (Supriadi et al. 2007). Rotasi tanaman juga dapat dilakukan untuk mengurangi populasi patogen di dalam tanah.
Penerapan budidaya jahe pada polybag akan lebih mudah dalam pengendalian lahan yang bebas patogen bakteri ini.  Upaya menghambat perkembangan dan serangan juga terbantu dengan penggunaan pupuk Bokashi, SOT HCS dan PHEFOC, karena ternyata dengan adanya mikroorganisme decomposer yang sudah terkandung di dalamnya dapat mencegah dan menghambat perkembangan bakteri ini.
  • Benih sehat
Untuk mencegah terjadinya penyakit layu bakteri, maka penanaman benih yang sehat sangat diperlukan. Sortasi benih harus dilakukan sejak awal pada waktu benih masih di lapangan dan sebelum ditanam. Sumber benih harus dari tanaman yang sehat. Rimpang yang digunakan untuk benih harus yang sudah cukup tua dan berwarna mengkilat.
Perlakuan benih dengan antibiotik atau pestisida organik dapat dilakukan untuk membunuh patogen yang mungkin terbawa pada permukaan benih rimpang jahe. Cara ini sesuai dengan pola budidaya Jahe yang diterapkan HCS.
Penyebaran penyakit layu bakteri pada tanaman jahe terutama disebabkan karena penggunaan benih yang telah terinfeksi. Oleh karena itu pemeriksaan kesehatan benih jahe perlu dilakukan. Untuk mendeteksi patogen dalam rimpang jahe yang akan digunakan sebagai benih dapat dilakukan dengan teknik ELISA. Hasil penelitian Supriadi et al. (1995) menunjukkan bahwa dari sampel benih jahe yang diamati yang dikoleksi dari beberapa daerah di Jawa Barat, 5% di antaranya sudah mengandung bakteri R. solanacearum.
  • Tanaman tahan penyakit
Penanaman jenis jahe yang tahan merupakan cara yang paling efektif untuk mengendalikan penyakit layu. Namun sampai saat ini belum ada jenis jahe yang tahan terhadap penyakit tersebut. Oleh karena itu penelitian dalam rangka mencari varietas jahe yang tahan sangat diperlukan.
Sampai saat ini belum ada jenis jahe yang tahan terhadap penyakit layu bakteri. Jenis jahe putih besar yang biasa dibudidayakan di Indonesia sangat rentan terhadap R. solanacearum.
Pengujian klon-klon jahe yang ada di Indonesia terhadap R. solanacearum belum pernah dilakukan. Rostiana et al. (1991) telah mengoleksi 28 nomor jahe dari berbagai lokasi di Indonesia, namun tingkat ketahanan klon-klon jahe tersebut terhadap R. solanacearum belum diketahui. Indrasenan et al. (1982) melaporkan bahwa dari 30 klon jahe lokal di India yang diuji tidak ada yang tahan terhadap R. solanacearum.
Penelitian dalam rangka mencari varietas jahe yang tahan sudah dilakukan di Balittro yaitu dengan memperbanyak variasi genetik jahe dengan teknik radiasi yang hasilnya diperoleh beberapa nomor tanaman jahe yang lebih tahan terhadap inokulasi R. solanacearum dalam kondisi di rumah kaca (Ika Mariska komunikasi pribadi). Hasil penelitian secara in vitro telah diperoleh beberapa somaklon jahe yang tahan terhadap inokulasi R. solanacearum secara buatan di rumah kaca.
  • Sanitasi
Sanitasi harus dilakukan secara ketat dari awal. Sanitasi tidak efektif apabila dilakukan pada saat serangan sudah meluas dan parah. Tanaman jahe yang terserang di lapang harus segera dicabut dan dimusnahkan dengan cara dibakar. Selanjutnya lubang bekas tanaman yang sakit disiram dengan antibiotik atau ditaburi dengan kapur.
  • Pengelolaan lingkungan
Penyakit layu akan berkembang dengan baik pada kondisi kebun yang lembab dan panas, sehingga penyakit tersebut sering terjadi di daerah-daerah Tropis lembab dan Sub tropis. Untuk mencegah timbulnya penyakit, maka pengelolaan lahan dan lingkungan perlu dilakukan untuk menjaga agar kondisi di kebun tidak terlalu lembab, misalnya dengan mengatur jarak tanam, menyiangi gulma di sekitar tanaman jahe, karena ada beberapa jenis gulma yang bisa menjadi inang dari R. solanacearum. Selain itu irigasi kebun harus diperhatikan agar lahan mempunyai drainase yang baik. Apabila ada areal yang terinfeksi sebaiknya dibuat selokan yang membatasi dengan areal yang masih sehat untuk mencegah penularan penyakit melalui akar, tanah, dan air.
Untuk mencegah masuknya patogen ke daerah yang masih sehat, maka semua pekerjaan di kebun yang dilakukan baik oleh manusia maupun hewan sebaiknya dimulai dari daerah yang masih sehat selanjutnyta berjalan kearah daerah yang sudah terinfeksi. Demikian juga alat-alat pertanian yang akan digunakan harus dibersihkan terlebih dahulu sebelum dan setelah digunakan.

b. Pengendalian penyakit di lapangan

Apabila pencegahan sudah dilakukan namun penyakit masih timbul di lapangan, maka perlu dilakukan pengendalian. Sampai saat ini belum ada cara pengendalian yang efektif, sehingga pengendalian terpadu merupakan cara yang paling bijaksana untuk dilakukan.
  • Pengendalian terpadu
Pengendalian terpadu harus dilakukan sesuai dengan jenis tanamannya, jenis patogen, dan pengetahuan mengenai cara bertahan hidup dan penyebaran (ekobiologi) patogennya (Hayward 1986). Untuk tanaman yang menghasilkan umbi seperti kentang, penggunaan varietas tahan sangat diperlukan dengan pengetahuan mengenai faktor-faktor yang berperanan terhadap potensi inokulum, sisa-sisa tanaman sakit, populasi patogen di tanah, dan asosiasinya dengan tanaman inang alternatif, dan sebagainya.
  • Pemakaian pestisida
Pengendalian penyakit bisa dilakukan misalnya dengan pestisida baik yang berupa pestisida kimia sintetik maupun pestisida alami. Namun pestisida kimia sintetik sangat mahal, sehingga pemakaian pestisida alami yang efektif, murah dan ramah lingkungan merupakan suatu alternatif yang perlu dianjurkan, misalnya dengan pemakaian PHEFOC HCS.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa minyak atsiri merupakan bahan alami dari tanaman yang berpotensi untuk digunakan sebagai pestisida nabati. Hasil penelitian Hartati et al. (1993a) menunjukkan bahwa minyak cengkeh dan serai wangi dapat menghambat pertumbuhan R. solancearum secara in vitro. Hartati et al. (1993b) juga melaporkan bahwa pada uji in vitro minyak daun cengkeh lebih efektif terhadap R. solanacearum dibandingkan dengan komponennya eugenol dan serbuk cengkeh. Supriadi et al. (2008) melaporkan bahwa minyak kayu manis, cengkeh, serai wangi, serai dapur, nilam, jahe, kunyit, laos, temu lawak, dan adas dapat menghambat pertumbuhan bakteri R. solanacearum secara in vitro. Sementara hasil dari percobaan pot menunjukkan bahwa formula EC (6%) campuran dari minyak cengkeh dan kayu manis dapat menekan perkembangan penyakit layu pada jahe sampai 65 % pada umur tanaman 7 bulan. Sedang pengujian di lapangan menunjukkan bahwa formula EC 2 % minyak cengkeh dan kayu manis mampu menekan perkembangan penyakit dengan efikasi sebesar 35 % sampai pada umur tanaman 7 bulan (Hartati et al. 2009).
  • Agensia hayati
Pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (pupuk organik/bokashi) dapat digunakan sebagai alternatif untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tanaman jahe. Menurut Hartati et al. (2009), pemberian pupuk hayati yang berupa pupuk kandang yang diperkaya dengan mikroba dekomposer (Bacillus pantotkenticus dan Trichoderma lactae) dapat mengurangi intensitas serangan penyakit sebesar 54% dibandingkan dengan pemberian pupuk kandang biasa. Ini sejalan dengan pemakaian pupuk bokashi, apalagi terbantu pula dengan aplikasi SOT dan PHEFOC HCS.
Ok, kita rehat dulu ya sebentar, nanti kita sambung  ke Bagian ke-2 masih di masalah yang sama…..BAGIAN 2 KLIK DISINI
Bahan bacaan terutama dari : Balitro : Penyakit Penting pada Tanaman Jahe

sumber

No comments:

Post a Comment