Tuesday, February 25, 2020

PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH


Image result for bioetanol
PROSPEK BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH



Oleh :

Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1
1 Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor Telp. (0251) 8633378, Fax. (0251) 8633414
Diterima :   12 Januari 2010 ;      Disetujui : 10 Maret 2010


ABSTRAK


Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk menggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan, penggunaannya sebagai campuran BBM terbukti dapat mengurangi emisi karbon monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Saat ini bioethanol juga bisa dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya dapat dilakukan di rumah dengan mudah, sehingga lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Dengan demikian bisnis bioetanol di Indonesia mempunyai prospek yang cerah karena bahan baku melimpah, baik singkong, tebu,  aren, jagung, maupun hasil samping pabrik gula (molases). Dari sektor kehutanan bioetanol dapat dihasilkan dari sagu, nipah, dan aren. Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai pengganti minyak tanah.
Kata kunci : Bioetanol, energi, alternatif,minyak bumi, minyak tanah, prospek


I.     PENDAHULUAN


A.     Bioetanol

Bioetanol (C2H5OH) merupakan salah satu biofuel yang hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu menurunkan emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan bakar fosil seperti minyak tanah (Anonim, 2007a). Bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira, aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak pengguna akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada. Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya, namun kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70 persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau limbah kayu.


Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar berbasis produk proses biologi seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat (gula,pati,selulosa, dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol. Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana), fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan bahan pangan sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti singkong gajah yang beracun, sampah atau limbah apapun yang mengandung karbohidrat, melalui proses sakarifikasi dan seterusnya (pemecahan gula seperti tersebut di atas), bahan- bahan tersebut dapat dikonversi pula menjadi bioetanol.


Produksi etanol Nasional pada tahun 2006 mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun 2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel, biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Secara lebih spesifik bioetanol adalah cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari penguraian sumber karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga diartikan sebagai bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan minyak premium, karena terdapatnya unsur – unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H). (Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bahan ber sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira kelapa, nira aren, dan sari buah mete); bahan berpati (bahan yang mengandung pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel, sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain; dan bahan berserat selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku tersebut, terdapat bahan berlignoselulosa sebagai bahan yang jarang digunakan karena cukup sulit dilakukan penguraiannya menjadi bioetanol. Ini disebabkan adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol sehingga lebih sukar diuraikan dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa dan jumlahnya sedikit (Khairani, 2007). Rincian macam sumber karbohidrat yang dapat dikonversi menjadi alkohol (etanol) berikut hasil dan rendemen (perolehan) etanol dapat dilihat pada Tabel 1.

B.     Biogasoline (gasohol) dan Perkembangannya


Gasohol adalah campuran antara bioetanol dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008). Bahan bakar ini jika dioperasikan pada mesin berbasis gasoline akan menghasilkan emisi karbonmonoksida (CO) dan


senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil pembakaran (oksidasi) tidak sempurna pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan pengoperasian bahan bakar konvensional (gasoline). Ini disebabkan adanya etanol yang sudah mengandung oksigen (O2) sekitar 35% dapat meningkatkan efisiensi pembakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama Gasohol, telah dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia, biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan 98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran 3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang dijual di Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006 Thailand telah menjual gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh gasoline dengan biogasoline.

Tabel 1. Sumber, hasil panen dan rendemen alkohol sebagai hasil konversi


Sumber karbohidrat
Hasil panen ton/ha/th
Perolehan alkohol
liter/ton
liter/ha/th
Singkong
25 (23,6)
180 (155)
4500 (3658)
Tetes tebu
3,6
270
973
Sorgum biji
6
333,4
2000
Ubi jalar
62,5
125
7812
Sagu
6,8
608
4133
Tebu
75
67
5025
Nipah
27
93
2500
Sorgum manis
80
75
6000
Sumber: Anonim (2005); Nurdyastuti ( 2008) dan Assegaf ( 2009).

Bulan Agustus 2006, Perusahaan minyak negara (Pertamina) telah meluncurkan produk biopremium, namun masih terbatas di stasiun pengisian bahan bakar utama( SPBU) berlokasi di Jalan. Mayjen M. Wiyono, Malang. Biopremium yang dijual dibuat dari campuran Premium dengan 5% bioetanol. Bioetanol untuk campuran biopremium diproduksi oleh PT Molindo Raya Industrial (MRI) di Lawang menggunakan bahan baku tetes tebu. Sejak diluncurkan, respon masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan. Sedangkan di Jakarta, sejak Desember 2006 sudah dapat dilihat BioPertamax di beberapa SPBU, antara lain pada SPBU di jalan. Tentara Pelajar, Senayan (Jakarta Selatan). Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana Pertamina meluncurkan biopremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi


kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik etanol berkapasitas 200 juta liter etanol per tahun oleh PT Mitra Sae Internasional di Kuningan bekerja sama dengan LBL Network Ltd.dari Korea Selatan dengan bahan dasar ubi kayu jenis Manihot esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)

II.      POTENSI SUMBER BIOETANOL


A.     Sagu
1.       Potensi
Pohon penghasil sagu (Metroxylon spp) termasuk jenis palma yang banyak tumbuh di Indonesia bagian Timur. Sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dimana kandungan karbohidratnya lebih tinggi dari pada kandungan tanaman lainnya. Secara alami tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (Gambar 1). Tumbuhan ini merupakan asli dimana sagunya selain sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai energi mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E) atau pada keadaan tertentu dapat digunakan secara penuh (E100), untuk menggerakkan (mengoperasikan) mesin – mesin berdasar bensin.
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha dan 90% di antaranya tumbuh di propinsi Papua dan Maluku (Flach, 1997). Kedua daerah tersebut termasuk pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang sudah mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua 1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya sekitar 40% saja yang efisien sebagai penghasil pati produktif dengan produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.


þÿ       þÿ
A                                                         B
Gambar 1. Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang Pariaman (A), bekas tebangan sagu (B).

Di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469 ha tegakan sagu. Setiap ha tegakan sagu per tahun paling sedikit dihasilkan 2,5 ton pati sagu (Flach, 1983). Dengan demikian di Irian Jaya terdapat potensi pati sagu sekitar 3.516.176 ton sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat Irian membutuhkan sekitar 150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Irian Jaya terdapat potensi sagu sekitar 3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. Di Mentawai  terdapat sekitar 56.100 ha tegakan sagu dengan produksi sekitar 1.200 ton, berarti di Mentawai terdapat potensi pati sagu sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman terdapat tegakan sagu sekitar 95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun di daerah ini terdapat potensi sagu yang belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton sagu/tahun. Dari penjelasan tersebut, potensi sagu sangat tinggi dan sudah saatnya dilakukan pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol, baik skala laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan penelitian awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas bioetanol dari sagu.

2.     Pati sagu sebagai sumber bioetanol


Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena unit monomernya glukosa. Kemurnian sagu pada pati sangat tinggi karena rendahnya kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga pati sagu sangat cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin, dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu yang diekstrak dari empulur batang, pohonnya mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air (45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga air ikut berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol dari sagu berasal dari dua bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan prosesnya


berlangsung dalam empat tahapan yaitu: a. hidrolisa bahan menjadi oligosakarida; b.hidrolisa oligosakarida menjadi gula (monosakarida); c. konversi gula menjadi bioetanol, d. pemurnian bioetanol.
Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya proses yang dipakai adalah secara biologis dengan menggunakan enzim alfa dan glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula (sakarifikasi) dan selanjutnya fermentasi gula menjadi bioetanol. Bioetanol dapat pula diperoleh dari serat berselulosa dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase enzim dan kondisi proses fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol berbahan sagu sebagai berikut (Gambar 1a, 2 dan 3).

þÿ



Gambar 1a. Tahapan konversi karbohidrat (pati) pada sagu menjadi bioetanol.



þÿ     þÿ

A                                      B

Gambar 2. Pemarutan sagu sebagai proses awal pembuatan bioetanol (A) dan Proses fermentasi (B).


Proses fermentasi berlangsung beberapa jam setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil- kecil Gelembung-gelembung udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi. Selama proses fermentasi usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan pH nya dipertahankan 4.5
– 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai 3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat lagi adanya gelembung-gelembung udara.
þÿ


Gambar 3. Proses distilasi skala laboratorium untuk mendapatkan bioetanol



Setelah proses fermentasi selesai, masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan dengan suhu dipertahankan sekitar 79 – 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi tahap pertama, biasanya kadar bioetanol masih di bawah 95%. Apabila kadar bioetanol masih di bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar bioetanolnya 95%. Jika kadar bioetanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis. Tambahkan kapur tohor pada etanol, biarkan semalam. Setelah itu didistilasi lagi hingga kadar


airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat mencapai 98-99%. Sagu berpotensi menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN) karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 85% dan kandungan kalori 357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari 6,5 kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001).

B.     Tandan Kosong Kelapa Sawit


Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan limbah biomassa berserat selulosa yang memiliki potensi besar dengan kelimpahan cukup tinggi. TKKS merupakan hasil samping dari pengolahan minyak kelapa sawit yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku pembuatan matras, dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil penelitian Iriani (2009) dalam Muthuvelayudham dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan kondisi sakarifikasi terbaik pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma reesei dan melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae, dimana masing-masing menghasilkan konsentrasi gula pereduksi dan alkohol paling tinggi.TKKS yang digunakan selama proses sakarifikasi terlebih dulu diberi perlakuan awal yakni dengan pemanasan di suhu 121oC, dengan tekanan 1,5 atmosfir selama 90 menit. Sakarifikasi menggunakan metode fermentasi padat, yakni dengan menginokulasikan suspensi spora T.reesei sebanyak 10% v/b (3,5-7,4`x108 sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal Mandels & Waber dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban mencapai 70 %. Sakarifikasi dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati setiap 48 jam adalah kadar gula pereduksi, aktivitas enzim CMCase (endoglukanase), enzim beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi suhu  sakarifikasi  yang  dilakukaadalapada  suhu  250C,  300C  da350C.  Suhu  sakarifikasi terbaik diperoleh pada 300C, dengan kadar gula pereduksi paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang diperoleh pada hari ke-8. Selanjutnya suhu tersebut digunakan untuk penentuan pH awal terbaik sakarifikasi yaitu dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6. Konsentrasi gula pereduksi paling tinggi diperoleh pada pH awal medium 5,5 yakni sebesar 1,5 mg/g substrat pada hari ke-8. Sakarifikasi ulang dilakukan dengan menggunakan suhu dan pH awal terbaik selama 12 hari. Filtrat gula  hasil sakarifikasi hari ke-12 digunakan sebagai substrat fermentasi alkohol. Inokulum fermentasi yang digunakan adalah Saccharomyces cereviseae sebanyak 5% v/b (5,35 x 108 sel/mL) sel diinokulasikan ke dalam medium dan difermentasi secara anaerobik selama 96 jam.


Parameter yang diamati adalah kadar gula pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar 45,80% dan hemiselulosa 26,00%. Jika berdasarkan perhitungan minimal  menurut Badger (2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2.000 juta liter atau menghasilkan panas setara dengan menggunakan 1446.984 liter bensin (Anonim, 2008a). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak diusahakan karena berdasarkan evaluasi finansial dapat diperoleh tingkat keuntungan sebesar 75 % ( Anonim, 2008a ).

C.     Ganyong (Canna edulis)
Di Indonesia ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat, antara lain umbi mudanya untuk sayuran, umbi tuanya dapat diekstrak patinya untuk dibuat tepung, sedangkan daun dan tangkainya digunakan untuk pakan ternak (Rukmana, 2000). Umbi ganyong mengandung karbohidrat yang cukup tinggi sehingga berpotensi sebagai bahan dasar untuk produksi glukosa dan fermentasi etanol. Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan katalis asam, kombinasi asam dan enzim, serta kombinasi enzim dan enzim (Judoamidjojo et al., 1992). Hasil penelitian Wulansari (2004) dan Putri dan Sukandar (2008) menunjukkan bahwa pati ganyong memiliki karbohidrat yang didominasi pati dengan kadar 80% dan kadar air 18%. Pati ganyong memiliki warna putih kecokelatan dan tekstur halus. Kadar pati ganyong yang tinggi menunjukkan pati tersebut dapat dijadikan bahan baku melalui proses hidrolisis untuk pembuatan sirup berkadar glukosa tinggi menunjukkan bahwa pati ganyong berpotensi sebagai bahan baku untuk bioetanol melalui fermentasi glukosa atau isomernya. Jenis asam dan konsentrasi asam tidak berpengaruh signifikan terhadap gula pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis pati ganyong, hidrolisis optimum didapat dengan HNO3 7%. Kadar glukosa pada fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan secara positif. Pada penelitian ini fermentasi dengan kadar glukosa hasil hidrolisis sebesar 4,81% menghasilkan etanol 4,84%, sedangkan dengan kadar 14%, etanol yang dihasilkan meningkat menjadi 8,6%.


D.     Nira Sorgum (Sorgum bicolor)


Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang mempunyai potensi besar dikembangkan di Indonesia karena mempunyai area adaptasi yang luas. Sorgum merupakan tanaman bukan asli Indonesia, melainkan berasal dari Ethiopia dan Sudan Afrika. Di Indonesia sorgum mempunyai beberapa nama seperti gandrung, jagung pari, dan jagung cantel. Tanaman ini toleran terhadap kekeringan dan genangan air,  dapat  berproduksi pada lahan marjinal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit. Selama ini batang sorgum hanya digunakan untuk pakan ternak. Nira sorgum yang berasal dari batang tanaman sorgum dapat dimanfaatkan untuk membuat bioetanol, karena komposisi nira sorgum hampir sama dengan nira tebu (Tabel 2). Batang sorgum apabila diperas (dikempa) akan menghasilkan nira yang rasanya manis. Kadar air dalam batang sorgum kurang lebih 70 persen  di mana sebagian besar nira sorgum terlarut dalam air tersebut. Selama ini batang sorgum yang menghasilkan nira biasanya hanya digunakan sebagai pakan ternak, sehingga belum memiliki nilai ekonomis optimal. Mengingat nira sorgum mengandung kadar glukosa yang cukup besar (Tabel 2), serta memiliki kualitas setara dengan nira tebu, maka sorgum boleh menjadi pertimbangan sebagai salah satu sumber karbohidrat penghasil bioetanol di masa depan.

Tabel 2. Perbandingan komposisi kimia nira sorgum dengan komposisi nira tebu


Komposisi
Nira sorgum
Nira tebu
Brix (%)
13,60 – 18,40
12 – 19
Sukrosa (%)
10 – 14,40
9 – 17
Gula reduksi (%)
0,75 – 1,35
0,48 – 1,52
Gula total (%)
11 – 16
10 – 18
Amilum (ppm)
209 - 1.764
1,50 – 95
Asam akonitat (%)
0,56
0,25
Abu (%)
1,28 – 1,57
0,40 – 0,70
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan (1996).


Hasil penelitian Sari (2009), menunjukkan bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah persentase volume starter. Setelah dilakukan optimasi terhadap variabel tersebut, kondisi optimum diperoleh dari proses fermentasi menggunakan ragi Saccharomyces ceerevisiae dengan waktu fermentasi 7 hari dan volume starter 9% (v/b), kadar glukosa 14,5%. Pada kondisi tersebut, diperoleh glukosa sebanyak 14,5% (v/b). Selanjutnya dari glukosa tersebut dihasilkan


bioetanol sebanyak11,82%. Angka tersebut mengindikasikan terjadinya konversi glukosa menjadi etanol yang tinggi menjadi bioetanol (46,21%). Dengan demikian sorgum yang selama ini hanya dikenal sebagai bahan pangan, ternyata juga berprospek sebahan baku pembuatan bioetanol, di mana dari 2,5 kg sorgum (berat kering) dapat diperoleh satu liter bioetanol.


E.     Tetes Tebu


Pada molase atau tetes tebu terdapat kurang lebih 60% selulosa dan 35,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana (mono dan disakarida) yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol. Di Indonesia potensi produksi molase ini per ha kurang lebih 10–15 ton, Jika seluruh molase per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766 hingga 1.148 liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku molase layak diusahakan karena tingkat keuntungan finansialnya mencapai 24%.

F.   Jerami Padi

Jerami padi mengandung kurang lebih 39% selulosa dan 27,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida ini, sama halnya dengan tetes tebu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Potensi produksi jerami padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah dengan kadar air kurang lebih 60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766-1.148 liter/ha FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel grade(FGE) sekarang adalah Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka nilai ekonominya kurang lebih Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha.
Menurut data Biro Pusat Statistik tahun 2006, keseluruhan luas sawah di Indonesia adalah 11,9 juta ha. Artinya, potensi jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini diolah menjadi bioetanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioetanol (FGE) dengan nilai ekonomi Rp. 50.1 triliun. Menurut perhitungan, etanol dari jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan karbohidrat pada jerami padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu dipertimbangkan juga terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan setelah panen dilakukan.


Potensi bioetanol dari jerami padi menurut Kim dan Dale (2004) dalam Patel dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung dengan cara Badger (2002) dalam Patel dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,20 l/kg jerami, sehingga dari data ini dapt diperkirakan potensi bioetanol dari jerami padi di Indonesia (Tabel 3). Jika berdasarkan prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka jumlah bioetanol yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 - 11,874 juta liter. Banyaknya bioetanol yang dihasilkan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin Nasional selama satu tahun.

Tabel 3. Potensi bioetanol dari jerami padi



Prediksi menurut
Prediksi potensi bioetanol
Kim and Dale (2004)
15,316 juta liter - 22,974 juta liter
Badger (2002)
10,940 juta liter - 16,410 juta liter
Sumber : Badger (2002) dan Kim and Dale (2004) dalam Patel dan Shobha (2007).


G.     Bonggol Pisang (Musa paradisiaca)

Bonggol pisang (Musa paradisiaca) memiliki komposisi 76% pati (karbohidrat), 20% air, sisanya adalah protein dan vitamin (Yuanita, 2008). Kandungan korbohidrat bonggol pisang tersebut sangat berpotensi sebagai sumber bioetanol. Bonggol pisang (Gambar 4) juga dapat dimanfaatkan untuk diambil patinya, dimana pati tersebut menyerupai pati tepung sagu dan tepung tapioka. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku bioetanol disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki potensi hasil panen yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani, dan rotasi umur panen yang pendek (Prihandana, 2007).
þÿ

Gambar 4. Bonggol pisang salah satu sumber bioetanol



Rincian singkat pengolahan bonggol pisang menjadi etanol adalah mula-mula bonggol pisang tersebut dikupas dan dibersihkan dari kotoran, kemudian dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan cara dijemur dan diangin-anginkan sampai kering. Bonggol pisang diturunkan kadar airnya hingga mencapai kering udara, dengan tujuan agar lebih awet.dan kering sehingga dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku (Anonim, 2008a). Selanjutnya bonggol pisang kering digiling dengan mesin penggiling atau ditumbuk dengan penumbuk sehingga menjadi serbuk halus. Serbuk bonggol pisang lalu disaring atau diayak sehingga diperoleh partikel kecil yang homogen. Hasil penelitian Assegaf (2009), menyimpulkan bahwa bonggol pisang mempunyai prospek sebagai sumber bioetanol. Metode yang diterapkan adalah melalui hidrolisis asam dan enzimatis, namun dari kedua metode tersebut metode hidrolisis secara enzimatis merupakan proses yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan katalis asam.

H.     Singkong Karet



Singkong karet atau singkong gajah merupakan salah satu jenis pohon singkong dimana umbinya mengandung senyawa beracun, yaitu asam sianida (HCN), sehingga umbi tersebut tidak diperdagangkan dan kurang dimanfaatkan oleh masyarakat (Anonim, 2009). Oleh karena itu sangat tepat sekali bila singkong karet tersebut ini digunakan sebagai bahan baku bioetanol. Penelitian Sriyanti (2003), menunjukkan bahwa dari tiga varietas singkong yakni randu, mentega dan menthik, ternyata kadar gula dan alkohol tertinggi dari hasil sakarifikasi dan fermentasi terdapat pada varietas mentega yakni sebesar 11,8% mg (kadar gula) dan 2,94% mg (kadar alkohol). Menurut Sugiarti (2007) dalam Setyaningsih (2008), bahwa kandungan alkohol hasil fermentasi ubi kayu varietas randu sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih (2008), setelah dilakukan pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil fermentasi ampas umbi singkong karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar alkohol terendah adalah 11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis ragi 2 gram. Sedangkan kadar alkohol tertinggi adalah 41,67% pada waktu fermentasi 15 hari dan dosis ragi 8 gram.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melakukan uji coba pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar singkong. Untuk menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya 6,5 kilogram singkong. Bioetanol tersebut nantinya dapat untuk bahan bakar cair dengan nilai oktan 40% atau seperti halnya nilai oktan minyak tanah (40%), premium


(70%), dan bahkan pertamax (90%). Biaya produksi untuk satu liter bioetanol dari singkong karet sekitar Rp3.000, jadi kalau dijual Rp 4.000,- lebih murah dari premium. Anonim (2007) menyatakan bahwa pada skala usaha rumah tangga, dari 6,5 kg singkong dengan kandungan karbohidrat 24% akan dihasilkan 1 liter bioetanol.

I.     Talas (Colocasia esculenta)


Tanaman talas bentul (Colocasia esculenta L.) mempunyai nama lain dalam bahasa Inggris yaitu taro, old cocoyam, dasheen, eddoe, dan dalam bahasa Prancis adalah taro. Di Indonesia dikenal dengan nama bentul, talas dan keladi. Tanaman ini tumbuh dengan baik di tanah yang basah dengan temperatur 25 – 30oC dan dengan kelembaban yang tinggi. Talas tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl (dari permukaan laut) di Malaysia, di Filipina 1800 m dpl, dan bahkan 2700m dpl di Papua New Guinea. Tanaman ini toleran terhadap naungan (tempat teduh) dan ditanam sebagai tumbuhan selingan pada pertanian. Kadar pati umbi talas 66,8% dengan kadar air sekitar 7,2%.
Retno (2008) melakukan penelitian pembuatan bioetanol dari tepung talas. Setelah dikeringkan tepung talas selanjutnya menjalani perlakuan reaksi hidrolisa dengan bio katalis (enzim) alpha amylase pada pH 6,9 suhu 80oC, dan enzim glucoamylase pada pH 4,8 suhu 55oC untuk menghasilkan glukosa. Bioetanol yang diperoleh dari 8,7kg tepung talas sebesar 1006 ml. Biaya yang dibutuhkan pada pembuatan bioetanol (FGE) dari tepung talas dengan kadar 99,4 %, sebesar Rp. 6.625,-/ liter.

III.        BIOETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI TERBARUKAN RAMAH LINGKUNGAN


Penggunaan bioetanol sebagai campuran bahan bakar minyak (BBM) dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan senyawa lain(asap, gas, dan partikel padat timbal) dari kendaraan. Hal ini sudah dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikan bioetanol tersebut, seperti Brasil dan Jepang. Perkembangan bisnis bioetanol di Indonesia seharusnya juga bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan melimpahnya bahan baku, seharusnya kita bisa menggantikan sebagian pemakaian BBM yang sudah semakin langka dengan bioetanol. Selain


untuk bahan bakar, bioethanol (FGE) dapat digunakan untuk industri kimia, farmasi, kedokteran, kosmetik, bahan baku aneka minuman, dan sebagainya.
Bioetanol dapat dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya dapat dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Selain itu juga pengoperasian bioetanol lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16.000,-, maka dengan bioetanol dapat menghemat Rp 4.000,-. Pengalaman membuat dan menggunakan bioetanol ini diceritakan oleh seseorang bernama Bambang Kisudono, warga kota Surabaya yang memanfaatkan sampah dapur rumahnya untuk membuat dan mengembangkan bioetanol di lingkungan tempat tinggalnya. Awalnya Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya (ITS) Surabaya dari kajiannya menyimpulkan bahwa kompor yang dirancang khusus untuk bioetanol (Gambar 5) terbukti lebih efisien dibandingkan kompor kerosin (minyak tanah/konvensional). Hal ini mendorong orang tersebut melakukan pengolahan bioetanol sendiri.
þÿ Ã¾Ã¿

Gambar 5. Kompor bioetanol


Untuk kompor rumah tangga, perbandingan (rasio) penggunaan bioetanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya adalah dengan 3 liter minyak tanah efisiensi panas yang dihasilkan akan setara dengan satu liter bioetanol. Dengan volume 100cc bioetanol akan membuat api menyala sekitar 30 - 40 menit. Bahkan menurut peneliti bioetanol Ir Sri Nurhatika MP di ITS, Surabaya, mengemukakan penggunaan bioetanol akan lebih efisien lagi karena 1 liter bioetanol sama dengan 9 liter minyak tanah. Bahan baku untuk pembuatan bioetanol terbagi tiga, yaitu bahan berpati, bergula, dan bahan berselulosa. Bahan baku bergula, misalnya adalah tebu, nira, dan aren. Sedangkan bahan berpati, misalnya sagu, ubi kayu, jagung, biji sorgum, dan kentang manis. Bahan ini umumnya dimakan oleh manusia. Sehingga sebaiknya pengembangan  bioetanol masa depan lebih ditujukan kepada penggunaan bahan yang tidak dikonsumsi manusia,


sehingga tidak mengganggu ketahanan pangan nasional. Selanjutnya bahan berlignoselulosa contohnya adalah TKKS, dimana polimer selulosa lebih sulit diuraikan (dihidrolisis) daripada polimer pati dan hal ini perlu diperhatikan.


IV.     PENUTUP (PELUANG DAN PROSPEK)


Bioetanol diharapkan dapat merupakan bahan bakar alternatif masa depan yang ramah lingkungan dan bersifat renewable, untuk menggantikan sebagian atau melengkapi konsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi) yang kurang ramah lingkungan dan persediaannya semakin terbatas. Di Indonesia terdapat berbagai macam bahan baku berkarbohidrat tinggi yang potensial untuk dikonversi menjadi bioetanol seperti sagu, tandan kosong kelapa sawit, ganyong, nira sorgum, tetes tebu, jerami padi dan bonggol pisang.

Diantara berbagai macam bahan baku tersebut, sagu cukup menarik perhatian untuk dimanfaatkan patinya sebagai bahan konversi menjadi bioetanol. Ini disebabkan potensi hutan alam sagu Indonesia sangat luas, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Mengingat variasi genetik sagu yang terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar untuk mengembangkan sagu tersebut sebagai sumber energi alternatif masa datang. Untuk menutupi kebutuhan pangan dari sagu hanya 5% dari potensinya yang ada, sehingga sisanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol. Untuk pengembangan budidaya sagu, masyarakat selama ini sudah mengenal teknik perbanyakan tanaman sagu secara vegetatif, sehingga untuk mendorong masyarakat lebih giat membudidayakan sagu tidak sulit. Pemanfaatan hutan alam sagu, maupun hutan tanaman sagu, yang diiringi pengembangan budidaya serta berdirinya industri bioetanol dapat menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


DAFTAR PUSTAKA


Anonim. 2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol sebagai bahan bakar alternatif terbaru kan. Balai Besar Teknologi Pati – BPPT. Jakarta.
              . 2007a. Apa itu Bioetanol ?. http://www.nusantara-agro-industri.com. Diakses tanggal 20 April 2009.

              . 2007b. Kebun penghasil bensin – bioetanol. http:/www.trubus-online.com. Diakses tanggal 16 Januari 2008.

              . 2008a. Bio Ethanol Alternatif BBM. http://www. energibio.com/. Diakses Desember 2008.

              . 2008b. Bioetanol bahan baku singkong. The Largest Aceh Community Aceh.

              . 2009. Bioetanol bahan baku singkong. http:// www.acehforum.or.id. diakses tanggal 10 April 2009.

Assegaf, F. 2009. Prospek produksi bioetanol bonggol pisang (Musa paradisiaca) menggunakan metode hidrolisis asam dan enzimatis. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Flach, M. 1983. Sago palm domestication, explanation, and production. FAG. Plant production and protection. Paper. 85 pp.

          .1997. Sago palm, Metroxylon sagu Rottb. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting the Conservation and use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy and IPK. Germany. 71 pp.

Judoamidjojo, R.M., A.A.Darwis, dan E.G.Sa’id. 1992. Teknologi Fermentasi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor.

Khairani, R. 2007. Tanaman jagung sebagai bahan bio-fuel. http://www.macklintmip- unpad.net/Bio-fuel/Jagung/Pati.pdf. diakses tanggal 25 Maret 2009.

Mursyidin, D. 2007. Ubi kayu dan bahan bakar terbarukan. http://www.banjarmasin.net/ pedoman%Bahan%bakar%terbarukan. Diakses tanggal 29 Maret 2008

Muthuvelayudham, R. and T. Viruthagiri. 2007. Optimizaton and modeling of cellulase protein from Trichoderma ressei Rut C30 using mixed substrate. African Journal of Biotechnology 6 (1): 041-046.


Nurdyastuti, I. 2008. Teknologi proses produksi bio-ethanol, prospek pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar minyak. Balai Besar Teknologi Pati – BPPT. Jakarta.

Patel S.J., R. Onkarappa, and K.S. Shobha. 2007. Study of ethanol production from fungal pretreated wheat and rice straw. The Internet Journal of Microbiology 4 (1): www.ispub.com

Prihandana. 2007. Bioetanol ubi kayu bahan bakar masa depan. Agromedia. Jakarta.

Putri dan D. Sukandar, 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna Edulis Ker.) Menjadi Bioetanol Melalui Hidrolisis Asam Dan Fermentasi. Biodiversitas Volume 9, Nomor 2 April. Halaman: 112-116. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Ciputat-Tangerang.

Retno. 2008. Pengolahan bonggol pisang menjadi keripik yang dapat diperdagangkan dan dijadikan tambahan pendapatan bagi petani di desa Mangunrejo Kecamatan Kepanjen.

Rukmana, R. 2000. Ganyong,budidaya dan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius.

Sari, R. P. P. 2009. Pembuatan etanol dari nira sorgum dengan proses fermentasi.Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Semarang.

Setyaningsih. 2008. Kadar glukosa dan bioetanol hasil fermentasi gaplek singkong karet (Monihot glaziovii Muell) dengan dosis ragi dan waktu berbeda. Program Studi Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan  Universitas Muhammadyah Surakarta.

Sriyanti, D.P. 2003. Mikrostek talas (Colocasia esculenta) pada berbagai macam media MS dan alami. Seminar teknologi pertanian spesifik lokasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan petani dan pelestarian lingkungan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta.

Surendro,H. 2006. ”Biofuel”, DJLPE ,Jakarta

Tarigan. D. D. 2001. Sagu memantapkan swasembada pangan. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23 (5): 1-3

Wulansari, I. 2004. Kajian Pengaruh Dosis α-Amilase dan Dextrozyme pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Sagu. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB.

Wyman, C. E. 2002. “Potential Synergies and Challenges in Refining Cellulosic Biomass to Fuels” Biotechnol Progress.

Yuanita, 2008. Pabrik sorbitol dari bonggol pisang (Musa paradisiaca) dengan proses hidrogenasi katalitik. Jurnal Ilmiah Teknik Ki


sumber

No comments:

Post a Comment