Konservasi
in vitro menawarkan alternatif penyimpanan plasma nutfah tumbuhan yang memiliki
biji rekalsitran (tidak dapat disimpan) atau berkembang biak secara vegetatif,
serta menyediakan bahan tanaman steril untuk pertukaran plasma nutfah dan untuk
propagasi tanaman secara massal. Konservasi in vitro terdiri dari dua metode
yaitu penyimpanan jangka menengah dengan pertumbuhan lambat (lingkungan dan
media tumbuh minimal) dan penyimpanan jangka panjang dengan cryopreservation
(dalam tabung dengan suhu minus 196 °C).
Plasma
nutfah organisme (tumbuhan, hewan, mikroba) saat ini sudah dipandang sebagai
salah satu sumber daya alam yang sangat penting, terutama dalam rangka
pemenuhan kebutuhan pangan, energi, dan kesehatan. Konservasi plasma nutfah
tumbuhan berpacu dengan waktu seiring makin cepatnya plasma nutfah tersebut
menghilang akibat konversi areal ke pengusahaan tanaman pertanian yang lebih
menguntungkan atau ke peruntukan lain seperti kawasan industri, properti, dan
infrastruktur [1]. Banyak spesies tumbuhan yang punah sebelum ditemukan oleh
manusia, yang mungkin di antaranya mengandung senyawa aktif atau sifat genetik
yang bermanfaat di masa depan.
Konservasi
plasma nutfah dapat dilakukan dengan mengoleksi plasma nutfah di habitat
aslinya (konservasi in situ) atau di lokasi di luar habitat
alaminya (konservasi ex situ). Satu contoh konservasi in situ
adalah koleksi anggrek hitam (Coelogyne pandurata) di cagar alam Kersik
Luwai, Kutai Barat, Kalimantan Timur yang merupakan habitat alaminya.
Konservasi ex situ meliputi penyimpanan benih (untuk biji
ortodoks), kebun koleksi (kebun raya, arboretum, taman nasional, kebun koleksi
khusus), dan konservasi in vitro.
Konservasi in
vitro (dalam tabung di laboratorium) sangat penting terutama untuk
tumbuhan yang menghasilkan biji rekalsitran, yang daya perkecambahannya menurun
drastis dalam waktu singkat (misalnya biji kakao, karet, kelapa sawit, sebagian
besar tumbuhan hutan tropis), dan tumbuhan yang berkembang biak secara
vegetatif (misalnya pisang, kentang, ubi-ubian) [2, 3]. Konservasi in
vitromemerlukan ruang yang tidak luas, pemeliharaan relatif murah dan
mudah, tidak ada gangguan biotik (hama, penyakit, manusia) dan abiotik (bencana
alam), serta pengiriman bahan tanaman ke lokasi atau negara lain lebih murah
dan mudah karena ukurannya lebih kecil dan dalam kondisi steril.
Konservasi
in vitro adalah melakukan penanaman plasma nutfah pada media buatan dalam
tabung kultur di laboratorium. Terdapat dua metode konservasi in vitro yaitu
penyimpanan jangka menengah dengan pertumbuhan lambat atau minimal dan
penyimpanan jangka panjang dengan cryopreservation [4, 5].
Metode pertumbuhan lambat (slow growth) pada prinsipnya adalah
menyediakan lingkungan dan media tumbuh yang paling minimal sehingga laju
metabolisme propagula in vitro tanaman (berupa kalus, embrio
somatik, tunas atau planlet) berlangsung sangat lambat. Tujuannya adalah untuk
memperjarang periode subkultur sehingga biaya pemeliharaan lebih murah.
Untuk
memperlambat pertumbuhan dapat dilakukan dengan memanipulasi lingkungan dan
media tumbuh. Kondisi lingkungan diminimalkan dengan menurunkan suhu, untuk
tumbuhan tropis pada 15-20 °C, dan menurunkan intensitas cahaya. Media tumbuh
minimal diperoleh dengan menurunkan kandungan sumber karbohidrat dan hara mineral
(menjadi ½ atau ¼ dosis), menambahkan senyawa osmotikum seperti manitol dan
sorbitol, serta zat penghambat tumbuh misalnya ancymidol,
paclobutrazol, CCC, dan ABA. Apabila akan dimanfaatkan untuk program pemuliaan
atau propagasi massal, propagula ditransfer ke media optimal dan akan tumbuh
kembali dengan normal. Sebagian besar konservasi in vitro tanaman
menggunakan metode pertumbuhan lambat ini karena lebih murah dan mudah
dibandingkan dengan cryopreservation. Dari 28.000 aksesi tanaman
yang berkembang biak secara vegetatif seperti pisang, ubi kayu, kentang, ubi
jalar, yam, dan ubi-ubian lain, 85% di antaranya dikoleksi in vitro dengan cara
pertumbuhan lambat dan 10% dengan cryopreservation [6].
Penyimpanan
dengan metode cryopreservation semakin banyak digunakan [2]
karena dapat menyimpan plasma nutfah dalam jangka panjang. Propagula disimpan
dalam tabung berisi nitrogen cair dengan suhu minus 196°C yang menyebabkan laju
metabolisme propagula yang disimpan praktis berhenti. Propagula yang disimpan
seyogianya berukuran kecil, dapat berupa kalus, sel, protoplas, embrio (zigotik
dan somatik), planlet, tunas, atau pucuk meristem. Untuk mempertahankan
keutuhan membran sel dan meningkatkan potensial osmotik, propagula tersebut
ditambah cryoprotectant yakni DMSO (dimetil sulfoksida) plus
sorbitol, gliserol, manitol, atau sukrosa. Penurunan suhu saat disimpan dan
penghangatan kembali (thawing) harus dilakukan dengan prosedur spesifik
yang sesuai untuk masing-masing spesies tanaman. Kesulitan teknis ini serta mahalnya
peralatan dan pemeliharaan menyebabkan metode cryopreservation belum banyak
digunakan di negara-negara berkembang. Sebagai contoh, biaya konservasi ubi
kayu dengan teknologi cryopreservation sebesar US$ 89.35/aksesi/tahun sekitar
7,5 kali lebih mahal dari konservasi in vitro pertumbuhan
lambat yaitu US$ 11.98/aksesi/tahun [7]. Namun, metode cryopreservation mempunyai
kelebihan yakni dapat digunakan untuk penyimpanan dalam jangka panjang,
propagula tetap juvenil, dan kemungkinan terjadinya mutasi lebih rendah
dibanding metode pertumbuhan lambat dengan subkultur berulang-ulang.
Konservasi in
vitro mensyaratkan bahwa bahan plasma nutfah yang disimpan harus tetap
hidup dan tumbuh kembali secara normal saat dikultur pada media yang optimal.
Selain itu, tidak boleh ada perubahan genetik yang terjadi pada plasma nutfah
tumbuhan setelah penyimpanan. Oleh karena itu, bahan eksplan yang digunakan
untuk penyimpanan sebaiknya berupa jaringan yang telah terdiferensiasi seperti
embrio, tunas, planlet, atau pucuk meristem dibandingkan dengan jaringan yang
belum terdiferensiasi seperti kalus, sel atau protoplas. Untuk memantau
kestabilan genetik bahan tanaman tersebut telah dikembangkan penanda molekuler
seperti RAPD, AFLP, ISSR dan SNP dalam pengelolaan konservasi plasma nutfah
tumbuhan [8].
Referensi
1.
Butchart SHM, M Walpole, B Collen et al. (2010) Global biodiversity: indicators
of recent declines. Science 328: 1164-1168.
2.
Cruz-Cruz CA, MT González-Arnao & F Engelmann (2013) Biotechnology and
conser-vation of plant biodiversity. Resources 2: 73-95.
3.
Engelmann F (2011) Use of biotechnologies for conserving plant biodiversity. In
Vitro Cell. Dev. Biol. Plant 47: 5-16.
4. Cha-um
S & C Kirdmanee (2007) Minimal growth in vitro culture for preservation of
plant species. Fruit, Veg. Cereal Sci. Biotechnol. 1(1): 13-25.
5. Shibli
RA, MA Shatnawi, WS Subaih & MM Ajlouni (2006) In vitro conservation and
cryopreservation of plant genetic resources: a review. World J. Agric. Sci.
2(4): 372-382.
6. Benson
EE, K Harding, D Debouck et al. (2011) Refinement and standardization of
storage procedures for clonal crops - Global Public Goods Phase 2: Part I.
Project landscape and general status of clonal crop in vitro conservation
technologies. System-wide Genetic Resources Programme, Rome, Italy. 82p.
7. Koo B,
P Pardey & B Wright (2003) The price of conserving agricultural
biodiversity. Nature Biotechnol. 21: 126-128.
8.
Spooner D, R van Treuren & MC de Vicente (2005) Molecular markers for
genebank management. IPGRI Technical Bulletin No.10. International Plant
Genetic Resources Institute, Rome, Italy. 126p.
sumber
No comments:
Post a Comment