PROSPEK
BIOETANOL SEBAGAI PENGGANTI MINYAK TANAH
Oleh :
Sri Komarayati 1 & Gusmailina 1
1 Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan, Jl. Gunung Batu no. 5, Bogor Telp. (0251) 8633378,
Fax. (0251) 8633414
Diterima : 12 Januari 2010 ; Disetujui : 10 Maret 2010
ABSTRAK
Bioetanol (C2H5OH)
merupakan salah satu bahan bakar nabati yang saat ini menjadi primadona untuk
menggantikan minyak bumi. Minyak bumi saat ini harganya semakin meningkat,
selain kurang ramah lingkungan juga termasuk sumber daya yang tidak dapat
diperbaharui. Bioetanol mempunyai kelebihan selain ramah lingkungan,
penggunaannya sebagai campuran BBM terbukti dapat mengurangi emisi karbon
monoksida dan asap lainnya dari kendaraan. Saat ini bioethanol juga bisa
dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain hemat, pembuatannya dapat
dilakukan di rumah dengan mudah, sehingga lebih ekonomis dibandingkan
menggunakan minyak tanah. Dengan demikian bisnis bioetanol di Indonesia
mempunyai prospek yang cerah karena bahan baku melimpah, baik singkong,
tebu, aren, jagung, maupun hasil samping
pabrik gula (molases). Dari sektor kehutanan bioetanol dapat dihasilkan dari
sagu, nipah, dan aren. Tulisan ini mencoba menguraikan secara global tentang
prospek beberapa komoditi sebagai sumber bioetanol untuk selanjutnya dapat
digunakan sebagai pengganti minyak tanah.
Kata
kunci : Bioetanol, energi, alternatif,minyak bumi, minyak tanah, prospek
I. PENDAHULUAN
A. Bioetanol
Bioetanol (C2H5OH)
merupakan salah satu biofuel yang
hadir sebagai bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan dan sifatnya
yang terbarukan. Merupakan bahan bakar alternatif
yang diolah dari tumbuhan yang memiliki keunggulan karena mampu
menurunkan emisi CO2 hingga 18%, dibandingkan dengan emisi bahan
bakar fosil seperti minyak tanah (Anonim, 2007a). Bioetanol dapat diproduksi
dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, sehingga sangat potensial
untuk diolah dan dikembangkan karena bahan bakunya sangat dikenal masyarakat. Tumbuhan yang potensial untuk menghasilkan bioetanol
antara lain tanaman yang memiliki kadar karbohidrat tinggi, seperti tebu, nira,
aren, sorgum, ubi kayu, jambu mete (limbah jambu mete), garut, batang pisang, ubi
jalar, jagung, bonggol jagung, jerami, dan bagas (ampas tebu). Banyaknya variasi tumbuhan, menyebabkan pihak pengguna
akan lebih leluasa memilih jenis yang sesuai dengan kondisi tanah yang ada.
Sebagai contoh ubi kayu dapat tumbuh di tanah yang kurang subur, memiliki daya
tahan yang tinggi terhadap penyakit dan dapat diatur waktu panennya, namun
kadar patinya hanya 30 persen, lebih rendah dibandingkan dengan jagung (70
persen) dan tebu (55 persen) sehingga bioetanol yang dihasilkan jumlahnya pun
lebih sedikit (Anonim, 2008 b). Di sektor kehutanan bioetanol dapat diproduksi
dari sagu, siwalan dan nipah serta kayu atau
limbah kayu.
Bahan bakar fosil seperi minyak bumi saat
ini harganya semakin meningkat, selain kurang ramah lingkungan juga termasuk
sumber daya yang tidak dapat diperbaharui. Bahan bakar berbasis produk proses
biologi seperti bioetanol dapat dihasilkan dari hasil pertanian yang tidak
layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti dari sampah/limbah pasar, limbah pabrik
gula (tetes/mollases). Yang penting bahan apapun yang mengandung karbohidrat
(gula,pati,selulosa, dan hemiselulosa) dapat diproses menjadi bioetanol.
Melalui proses sakarifikasi (pemecahan gula komplek menjadi gula sederhana),
fermentasi, dan distilasi, bahan-bahan tersebut dapat dikonversi menjadi bahan
bakar bioetanol. Untuk menjaga kestabilan pasokan
bahan pangan sebaiknya bioetanol diproduksi dari bahan-bahan yang tidak
layak/tidak dapat dikonsumsi, seperti singkong gajah yang beracun, sampah atau
limbah apapun yang mengandung karbohidrat, melalui proses
sakarifikasi dan seterusnya (pemecahan gula seperti tersebut di atas), bahan-
bahan tersebut dapat dikonversi pula menjadi
bioetanol.
Produksi etanol Nasional pada tahun 2006
mencapai sekitar 200 juta liter. Kebutuhan etanol Nasional tersebut pada tahun
2007 diperkirakan mencapai 900 juta liter (Surendro, 2006). Saat ini bioetanol
diproduksi dari tetes tebu, singkong dan jagung. Alternatif lain bahan baku
bioetanol yaitu biomassa berselulosa. Biomassa berselulosa merupakan sumber
daya alam yang berlimpah dan murah serta memiliki potensi untuk produksi
komersial industri etanol atau butanol. Selain dikonversi menjadi biofuel,
biomassa berselulosa juga dapat mendukung produksi komersial industri kimia
seperti asam organik, aseton atau gliserol (Wymann, 2002).
Secara lebih spesifik bioetanol adalah
cairan yang dihasilkan melalui proses fermentasi gula dari penguraian sumber
karbohidrat dengan bantuan mikroorganisme (Anonim, 2007). Bioetanol dapat juga
diartikan sebagai bahan kimia yang memiliki ada sifat kesamaan dengan minyak
premium, karena terdapatnya unsur – unsur seperti karbon (C) dan hidrogen (H).
(Khairani, 2007). Bahan baku pembuatan bioetanol dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu bahan ber sukrosa (nira, tebu, nira nipah, nira sargum manis, nira
kelapa, nira aren, dan sari buah mete); bahan berpati (bahan yang mengandung
pati) seperti tepung ubi, tepung ubi ganyong, sorgum biji, jagung, cantel,
sagu, ubi kayu, ubi jalar, dan lain–lain; dan bahan berserat
selulosa/lignoselulosa (tanaman yang mengandung selulosa dan lignin seperti
kayu, jerami, batang pisang, dan lain-lain. Dari ketiga jenis bahan baku
tersebut, terdapat bahan berlignoselulosa sebagai bahan yang jarang digunakan
karena cukup sulit dilakukan penguraiannya menjadi bioetanol. Ini disebabkan
adanya lignin yang merupakan senyawa polifenol sehingga lebih sukar diuraikan
dan selanjutnya mempersulit pembentukkan glukosa dan jumlahnya sedikit
(Khairani, 2007). Rincian macam sumber karbohidrat yang dapat dikonversi
menjadi alkohol (etanol) berikut hasil dan rendemen (perolehan) etanol dapat
dilihat pada Tabel 1.
B. Biogasoline (gasohol) dan Perkembangannya
Gasohol adalah campuran antara bioetanol
dan bensin dengan porsi bioetanol sampai dengan 25% yang dapat langsung
digunakan pada mesin mobil bensin tanpa perlu memodifikasi mesin. Hasil
pengujian kinerja mesin mobil bensin menggunakan gasohol menunjukkan gasohol
E-10 (10% bioetanol ) dan gasohol E-20 (20% bioetanol) menunjukkan kinerja
mesin yang lebih baik dari premium dan setara dengan pertamax (Anonim, 2008).
Bahan bakar ini jika dioperasikan pada mesin berbasis gasoline akan
menghasilkan emisi karbonmonoksida (CO) dan
senyawa lain hidrokarbon lebih sederhana hasil pembakaran
(oksidasi) tidak sempurna pada tingkat lebih rendah dibandingkan dengan
pengoperasian bahan bakar konvensional (gasoline). Ini disebabkan adanya etanol
yang sudah mengandung oksigen (O2) sekitar 35% dapat meningkatkan efisiensi
pembakaran/ oksidasi. Biogasoline atau dikenal juga dengan nama Gasohol, telah
dijual secara luas di Amerika Serikat, dengan campuran 10% bioetanol (dari
bahan baku jagung) dan 90% gasoline. Di Brazil, bioetanol untuk campuran gasoline
dibuat dari bahan baku tebu, dan digunakan dalam kadar 10%. Di Finlandia,
biogasoline yang digunakan memiliki kadar bioetanol 5% dan memiliki angka oktan
98. Di Jepang, sejak tahun 2005 sudah mulai digunakan gasoline dengan campuran
3% bioetanol, dan diharapkan pada tahun 2012 seluruh gasoline yang dijual di
Jepang sudah menggunakan biogasoline. Sejak tahun 2006 Thailand telah menjual
gasohol 95, dan direncanakan pada tahun 2012 Thailand akan mengganti seluruh
gasoline dengan biogasoline.
Tabel 1. Sumber, hasil panen dan
rendemen alkohol sebagai hasil konversi
Sumber karbohidrat
|
Hasil panen ton/ha/th
|
Perolehan alkohol
|
|
liter/ton
|
liter/ha/th
|
||
Singkong
|
25 (23,6)
|
180 (155)
|
4500 (3658)
|
Tetes tebu
|
3,6
|
270
|
973
|
Sorgum biji
|
6
|
333,4
|
2000
|
Ubi jalar
|
62,5
|
125
|
7812
|
Sagu
|
6,8
|
608
|
4133
|
Tebu
|
75
|
67
|
5025
|
Nipah
|
27
|
93
|
2500
|
Sorgum manis
|
80
|
75
|
6000
|
Sumber:
Anonim (2005); Nurdyastuti ( 2008) dan Assegaf ( 2009).
Bulan Agustus 2006, Perusahaan minyak
negara (Pertamina) telah meluncurkan produk biopremium, namun masih terbatas di
stasiun pengisian bahan bakar utama( SPBU) berlokasi di Jalan. Mayjen M.
Wiyono, Malang. Biopremium yang dijual dibuat dari campuran Premium dengan 5%
bioetanol. Bioetanol untuk campuran biopremium diproduksi oleh PT Molindo Raya
Industrial (MRI) di Lawang menggunakan bahan baku tetes tebu. Sejak
diluncurkan, respon masyarakat cukup baik, dengan meningkatnya omzet penjualan.
Sedangkan di Jakarta, sejak Desember 2006 sudah dapat dilihat BioPertamax di
beberapa SPBU, antara lain pada SPBU di jalan. Tentara Pelajar, Senayan
(Jakarta Selatan). Pengembangan selanjutnya di wilayah Jawa Barat, di mana
Pertamina meluncurkan biopremium di Bandung tahun 2007. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, direncanakan akan didirikan pabrik
etanol berkapasitas 200 juta liter etanol per tahun oleh PT Mitra Sae
Internasional di Kuningan bekerja sama dengan LBL Network Ltd.dari Korea
Selatan dengan bahan dasar ubi kayu jenis Manihot
esculanta trans.w (http://www.pertamina.com)
II.
POTENSI SUMBER BIOETANOL
A. Sagu
1. Potensi
Pohon penghasil sagu (Metroxylon spp)
termasuk jenis palma yang banyak tumbuh di Indonesia bagian Timur. Sagu
merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) dimana kandungan
karbohidratnya lebih tinggi dari pada kandungan tanaman lainnya. Secara alami
tumbuhan sagu tersebar hampir di setiap pulau atau kepulauan di Indonesia
dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat
di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera (Gambar 1). Tumbuhan ini merupakan
asli dimana sagunya selain sebagai bahan pangan juga dapat dimanfaatkan sebagai
energi mix atau sebagai pencampur
premium dan pertamax (E) atau pada keadaan tertentu dapat digunakan secara
penuh (E100), untuk menggerakkan (mengoperasikan) mesin – mesin berdasar
bensin.
Populasi tumbuhan sagu di Indonesia
diperkirakan terbesar di dunia sekitar 1,2 juta ha dan 90% di antaranya tumbuh
di propinsi Papua dan Maluku (Flach, 1997). Kedua daerah tersebut termasuk
pusat keragaman sagu tertinggi didunia, juga di beberapa daerah lain yang sudah
mulai dimanfaatkan potensinya (semi budidaya). Informasi luas hutan alam sagu
Indonesia menurut Flach (1997) yaitu 1.250.000 ha, yang tersebar di Papua
1.200.000 ha dan Maluku 50.000ha serta 148.000 ha hutan sagu semi budidaya yang
tersebar di Papua, Maluku, Sulawesi, Kalimantan, Sumatera, kepulauan Riau dan
Kepulauan Mentawai (Sumatera Barat). Akan tetapi dari luasan tersebut hanya
sekitar 40% saja yang efisien sebagai penghasil pati produktif dengan
produktivitas pati 7 ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 kilo liter/ha/tahun.
A B
Gambar 1. Tegakan sagu rakyat di Kabupaten Padang
Pariaman (A), bekas tebangan sagu (B).
Di Irian Jaya terdapat sekitar 1.406.469
ha tegakan sagu. Setiap ha tegakan sagu per tahun paling sedikit dihasilkan 2,5
ton pati sagu (Flach, 1983). Dengan demikian di Irian Jaya terdapat potensi
pati sagu sekitar 3.516.176 ton sagu/tahun. Untuk kebutuhan pangan, masyarakat
Irian membutuhkan sekitar 150.000 ton sagu/tahun. Dari data ini di Irian Jaya
terdapat potensi sagu sekitar 3,1 juta ton yang menunggu pemanfaatannya. Di
Mentawai terdapat sekitar 56.100 ha
tegakan sagu dengan produksi sekitar 1.200 ton, berarti di Mentawai terdapat
potensi pati sagu sekitar 139.000 ton/tahun. Di Padang Pariaman terdapat
tegakan sagu sekitar 95.790 ha dengan produksi 5.063 ton/tahun di daerah ini
terdapat potensi sagu yang belum dimanfaatkan sebanyak 234.412 ton sagu/tahun.
Dari penjelasan tersebut, potensi sagu sangat tinggi dan sudah saatnya
dilakukan pemanfaatan pohon sagu agar tidak mubazir. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Hasil Hutan, telah merintis pemanfaatan sagu menjadi bioetanol,
baik skala laboratorium mapun skala usaha kecil. Dan ini merupakan penelitian
awal dalam rangka menuju optimalisasi produksi dan produktivitas bioetanol dari sagu.
2. Pati sagu sebagai sumber bioetanol
Pati sagu disebut juga poliglukosa, karena
unit monomernya glukosa. Kemurnian sagu pada pati sangat tinggi karena
rendahnya kandungan lemak, protein dan senyawa lain, sehingga pati sagu sangat
cocok digunakan sebagai bahan baku pembuatan turunan pati seperti dekstrin,
dekstrose, gula, dan produk turunan lainnya. Pati sagu yang diekstrak dari
empulur batang, pohonnya mengandung pati (27-31%), serat (20-24%) dan air
(45-53%). Ekstraksi dilakukan dengan metode aliran air, sehingga air ikut
berpengaruh terhadap kualitas mutu sagu. Bioetanol dari sagu berasal dari dua
bagian yaitu pati sagu dan serat sagu. Sedangkan prosesnya
berlangsung dalam empat tahapan yaitu: a. hidrolisa bahan
menjadi oligosakarida; b.hidrolisa oligosakarida menjadi gula (monosakarida);
c. konversi gula menjadi bioetanol, d. pemurnian bioetanol.
Pembuatan etanol dari pati dapat dilakukan
secara kimia ataupun biologis. Akan tetapi jika berbicara “bioetanol” tentunya
proses yang dipakai adalah secara biologis dengan menggunakan enzim alfa dan
glucoamilase yang mampu mengurai pati menjadi gula (sakarifikasi) dan selanjutnya
fermentasi gula menjadi bioetanol. Bioetanol dapat pula diperoleh dari serat
berselulosa dengan menggunakan enzim selulase. Efektivitas proses ini
dipengaruhi oleh jenis enzim, kekentalan bahan (ratio pati dan air), presentase
enzim dan kondisi proses fermentasi. Langkah-langkah pembuatan bioetanol
berbahan sagu sebagai berikut (Gambar 1a, 2 dan 3).
Gambar 1a. Tahapan konversi
karbohidrat (pati) pada sagu menjadi bioetanol.
A B
Gambar 2.
Pemarutan sagu sebagai proses awal pembuatan bioetanol (A) dan Proses
fermentasi (B).
Proses fermentasi berlangsung beberapa jam
setelah semua bahan dimasukkan ke dalam fermentor. Proses ini berjalan ditandai
dengan keluarnya gelembung-gelembung udara kecil- kecil Gelembung-gelembung
udara ini adalah gas CO2 yang dihasilkan selama proses fermentasi.
Selama proses fermentasi usahakan agar suhu tidak melebihi 36oC dan
pH nya dipertahankan 4.5
– 5. Proses fermentasi berjalan kurang lebih selama 2 sampai
3 hari. Salah satu tanda bahwa fermentasi sudah selesai adalah tidak terlihat
lagi adanya gelembung-gelembung udara.
Gambar 3. Proses distilasi skala
laboratorium untuk mendapatkan bioetanol
Setelah proses fermentasi selesai,
masukkan cairan fermentasi ke dalam evaporator atau boiler. Panaskan dengan
suhu dipertahankan sekitar 79 – 81oC. Pada suhu ini bioetanol sudah
menguap, tetapi air tidak menguap. Uap etanol dialirkan ke distilator. Bioetanol
akan keluar dari pipa pengeluaran distilator. Pada distilasi tahap pertama,
biasanya kadar bioetanol masih di bawah 95%. Apabila kadar bioetanol masih di
bawah 95%, distilasi perlu diulangi lagi (reflux) hingga kadar bioetanolnya
95%. Jika kadar bioetanolnya sudah 95% dilakukan dehidrasi atau penghilangan
air. Untuk menghilangkan air bisa menggunakan kapur tohor atau zeolit sintetis.
Tambahkan kapur tohor pada etanol, biarkan semalam. Setelah itu didistilasi
lagi hingga kadar
airnya berkurang, dan kadar bioetanol yang diperoleh dapat
mencapai 98-99%. Sagu berpotensi menjadi bioetanol bahan bakar nabati (BBN)
karena kandungan karbohidratnya cukup tinggi, sekitar 85% dan kandungan kalori
357 kalori. Jadi diperkirakan kalau menggunakan tepung sagu tersebut dari 6,5
kg tepung akan dihasilkan 3,5 liter bioetanol (Tarigan, 2001).
B. Tandan Kosong Kelapa Sawit
Tandan kosong kelapa sawit (TKKS)
merupakan limbah biomassa berserat selulosa yang memiliki potensi besar dengan
kelimpahan cukup tinggi. TKKS merupakan hasil samping dari pengolahan minyak
kelapa sawit yang pemanfaatannya masih terbatas sebagai pupuk, bahan baku
pembuatan matras, dan media bagi pertumbuhan jamur serta tanaman. Hasil
penelitian Iriani (2009) dalam Muthuvelayudham
dan Virethagiri (2007) bertujuan untuk mendapatkan kondisi sakarifikasi terbaik
pada TKKS dengan menggunakan Trichoderma
reesei dan melakukan fermentasi alkohol oleh Saccharomyces cerevisiae, dimana masing-masing menghasilkan
konsentrasi gula pereduksi dan alkohol paling tinggi.TKKS yang digunakan selama
proses sakarifikasi terlebih dulu diberi perlakuan awal yakni dengan pemanasan
di suhu 121oC, dengan tekanan 1,5 atmosfir selama 90 menit.
Sakarifikasi menggunakan metode fermentasi padat, yakni dengan menginokulasikan
suspensi spora T.reesei sebanyak 10%
v/b (3,5-7,4`x108 sel/mL) ke dalam TKKS yang telah ditambahkan medium basal
Mandels & Waber dan akuades dengan perbandingan 3:4, sehingga kelembaban
mencapai 70 %. Sakarifikasi dilakukan selama 8 hari. Parameter yang diamati
setiap 48 jam adalah kadar gula pereduksi, aktivitas enzim CMCase
(endoglukanase), enzim beta-glukosidase dan pH medium. Optimasi suhu sakarifikasi
yang
dilakukan adalah pada
suhu
250C, 300C dan 350C. Suhu sakarifikasi terbaik diperoleh pada 300C,
dengan kadar gula pereduksi
paling tinggi 1,46 mg/g substrat yang diperoleh pada hari ke-8. Selanjutnya
suhu tersebut digunakan untuk penentuan pH awal terbaik sakarifikasi yaitu
dengan nilai pH 4,5 ; 5; 5,5 ; dan 6. Konsentrasi gula pereduksi paling tinggi
diperoleh pada pH awal medium 5,5 yakni sebesar 1,5 mg/g substrat pada hari
ke-8. Sakarifikasi ulang dilakukan dengan menggunakan suhu dan pH awal terbaik
selama 12 hari. Filtrat gula hasil
sakarifikasi hari ke-12 digunakan sebagai substrat fermentasi alkohol. Inokulum
fermentasi yang digunakan adalah Saccharomyces
cereviseae sebanyak 5% v/b (5,35 x 108 sel/mL) sel diinokulasikan ke dalam
medium dan difermentasi secara anaerobik selama 96 jam.
Parameter yang diamati adalah kadar gula
pereduksi, kadar etanol, jumlah sel serta pH medium. Konsentrasi etanol paling
tinggi yang dihasilkan pada fermentasi selama 72 jam sebesar 0,046 % dengan
konversi gula menjadi etanol sebesar 47,32%. Kandungan selulosa TKKS sekitar
45,80% dan hemiselulosa 26,00%. Jika berdasarkan perhitungan minimal menurut Badger
(2002) maka potensi bioetanol dari TKKS adalah sebesar 2.000 juta
liter atau menghasilkan panas setara dengan menggunakan 1446.984 liter bensin
(Anonim, 2008a). Produksi bioetanol berbahan baku limbah kelapa sawit layak
diusahakan karena berdasarkan evaluasi finansial dapat diperoleh tingkat
keuntungan sebesar 75 % ( Anonim, 2008a ).
C.
Ganyong (Canna edulis)
Di Indonesia ganyong (Canna edulis) merupakan tanaman yang memiliki banyak manfaat,
antara lain umbi mudanya untuk sayuran, umbi tuanya dapat diekstrak patinya
untuk dibuat tepung, sedangkan daun dan tangkainya digunakan untuk pakan ternak
(Rukmana, 2000). Umbi ganyong mengandung karbohidrat yang cukup tinggi sehingga
berpotensi sebagai bahan dasar untuk produksi glukosa dan fermentasi etanol.
Hidrolisis pati dapat dilakukan dengan katalis asam, kombinasi asam dan enzim,
serta kombinasi enzim dan enzim (Judoamidjojo et al., 1992). Hasil penelitian Wulansari (2004) dan Putri dan
Sukandar (2008) menunjukkan bahwa pati ganyong memiliki karbohidrat yang
didominasi pati dengan kadar 80% dan kadar air 18%. Pati ganyong memiliki warna
putih kecokelatan dan tekstur halus. Kadar pati ganyong yang tinggi menunjukkan
pati tersebut dapat dijadikan bahan baku melalui proses hidrolisis untuk
pembuatan sirup berkadar glukosa tinggi menunjukkan bahwa pati ganyong
berpotensi sebagai bahan baku untuk bioetanol melalui fermentasi glukosa atau
isomernya. Jenis asam dan konsentrasi asam tidak berpengaruh signifikan
terhadap gula pereduksi yang dihasilkan pada hidrolisis pati ganyong,
hidrolisis optimum didapat dengan HNO3 7%. Kadar glukosa pada
fermentasi mempengaruhi kadar etanol yang dihasilkan secara positif. Pada
penelitian ini fermentasi dengan kadar glukosa hasil hidrolisis sebesar 4,81%
menghasilkan etanol 4,84%, sedangkan dengan kadar 14%, etanol yang dihasilkan
meningkat menjadi 8,6%.
D.
Nira Sorgum (Sorgum bicolor)
Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan salah satu jenis tanaman serealia yang
mempunyai potensi besar dikembangkan di Indonesia karena mempunyai area
adaptasi yang luas. Sorgum merupakan tanaman bukan asli Indonesia, melainkan
berasal dari Ethiopia dan Sudan Afrika. Di Indonesia sorgum mempunyai beberapa
nama seperti gandrung, jagung pari, dan jagung cantel. Tanaman ini toleran
terhadap kekeringan dan genangan air,
dapat berproduksi pada lahan
marjinal, serta relatif tahan terhadap gangguan hama atau penyakit. Selama ini
batang sorgum hanya digunakan untuk pakan ternak. Nira sorgum yang berasal dari
batang tanaman sorgum dapat dimanfaatkan untuk membuat bioetanol, karena
komposisi nira sorgum hampir sama dengan nira tebu (Tabel 2). Batang sorgum
apabila diperas (dikempa) akan menghasilkan nira yang rasanya manis. Kadar air
dalam batang sorgum kurang lebih 70 persen
di mana sebagian besar nira sorgum terlarut dalam air tersebut. Selama
ini batang sorgum yang menghasilkan nira biasanya hanya digunakan sebagai pakan
ternak, sehingga belum memiliki nilai ekonomis optimal. Mengingat nira sorgum
mengandung kadar glukosa yang cukup besar (Tabel 2), serta memiliki kualitas
setara dengan nira tebu, maka sorgum boleh menjadi pertimbangan sebagai salah
satu sumber karbohidrat penghasil bioetanol di masa depan.
Tabel 2. Perbandingan komposisi
kimia nira sorgum dengan komposisi nira tebu
Komposisi
|
Nira sorgum
|
Nira tebu
|
Brix (%)
|
13,60 – 18,40
|
12 – 19
|
Sukrosa (%)
|
10 – 14,40
|
9 – 17
|
Gula reduksi (%)
|
0,75 – 1,35
|
0,48 – 1,52
|
Gula total (%)
|
11 – 16
|
10 – 18
|
Amilum (ppm)
|
209 - 1.764
|
1,50 – 95
|
Asam akonitat (%)
|
0,56
|
0,25
|
Abu (%)
|
1,28 – 1,57
|
0,40 – 0,70
|
Sumber : Direktorat Jendral Perkebunan
(1996).
Hasil penelitian Sari (2009), menunjukkan
bahwa variabel yang paling berpengaruh adalah persentase volume starter. Setelah dilakukan optimasi
terhadap variabel tersebut, kondisi optimum diperoleh dari proses fermentasi
menggunakan ragi Saccharomyces ceerevisiae
dengan waktu fermentasi 7 hari dan volume starter 9% (v/b), kadar glukosa
14,5%. Pada kondisi tersebut, diperoleh glukosa
sebanyak 14,5% (v/b). Selanjutnya dari glukosa tersebut
dihasilkan
bioetanol sebanyak11,82%. Angka tersebut mengindikasikan
terjadinya konversi glukosa menjadi etanol yang tinggi menjadi bioetanol
(46,21%). Dengan demikian sorgum yang selama ini hanya dikenal sebagai bahan
pangan, ternyata juga berprospek sebahan baku pembuatan bioetanol, di mana dari
2,5 kg sorgum (berat kering) dapat diperoleh satu liter bioetanol.
E.
Tetes Tebu
Pada molase atau tetes tebu terdapat
kurang lebih 60% selulosa dan 35,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua
bahan polisakarida ini dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana (mono dan
disakarida) yang selanjutnya difermentasi menjadi etanol. Di Indonesia potensi
produksi molase ini per ha kurang lebih 10–15 ton, Jika seluruh molase per ha
ini diolah menjadi ethanol fuel grade
ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih 766 hingga 1.148
liter/ha FGE. Produksi bioetanol berbahan baku molase layak diusahakan karena
tingkat keuntungan finansialnya mencapai 24%.
F.
Jerami Padi
Jerami padi mengandung kurang lebih 39%
selulosa dan 27,5% hemiselulosa (dasar berat kering). Kedua bahan polisakarida
ini, sama halnya dengan tetes tebu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana
yang selanjutnya dapat difermentasi menjadi bioetanol. Potensi produksi jerami
padi per ha kurang lebih 10-15 ton, keadaan basah dengan kadar air kurang lebih
60%. Jika seluruh jerami per ha ini diolah menjadi ethanol fuel grade ethanol (FGE), maka potensi produksinya kurang lebih
766-1.148 liter/ha FGE (perhitungan ada di lampiran). Dengan asumsi harga ethanol fuel grade(FGE) sekarang adalah
Rp. 5500,- per liter (harga dari pertamina), maka nilai ekonominya kurang lebih
Rp. 4.210.765 hingga Rp. 6.316.148 /ha.
Menurut data Biro Pusat Statistik tahun
2006, keseluruhan luas sawah di Indonesia adalah 11,9 juta ha. Artinya, potensi
jerami padinya kurang lebih adalah 119 juta ton. Apabila seluruh jerami ini
diolah menjadi bioetanol maka akan diperoleh sekitar 9,1 milyar liter bioetanol
(FGE) dengan nilai ekonomi Rp. 50.1 triliun. Menurut perhitungan, etanol dari
jerami sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional. Kandungan
karbohidrat pada jerami padi cocok untuk diolah menjadi bioetanol, namun perlu
dipertimbangkan juga terhadap hara yang harus dikembalikan lagi ke lahan
setelah panen dilakukan.
Potensi bioetanol dari jerami padi
menurut Kim dan Dale (2004) dalam Patel
dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,28 l/kg jerami. Sedangkan kalau dihitung
dengan cara Badger (2002) dalam Patel
dan Shoba (2007), adalah sebesar 0,20 l/kg jerami, sehingga dari data ini dapt
diperkirakan potensi bioetanol dari jerami padi di Indonesia (Tabel 3). Jika
berdasarkan prediksi minimal dengan cara Badger (2002), maka jumlah bioetanol
yang dihasilkan dapat menggantikan bensin sejumlah 7,915 - 11,874 juta liter.
Banyaknya bioetanol yang dihasilkan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan
bensin Nasional selama satu tahun.
Tabel 3. Potensi bioetanol dari
jerami padi
Prediksi menurut
|
Prediksi potensi bioetanol
|
Kim and Dale (2004)
|
15,316 juta liter - 22,974 juta liter
|
Badger (2002)
|
10,940 juta liter - 16,410 juta liter
|
Sumber : Badger (2002) dan Kim and Dale (2004) dalam Patel dan Shobha (2007).
G. Bonggol Pisang (Musa paradisiaca)
Bonggol pisang (Musa paradisiaca)
memiliki komposisi 76% pati (karbohidrat), 20% air, sisanya adalah protein dan
vitamin (Yuanita, 2008). Kandungan korbohidrat bonggol pisang tersebut sangat
berpotensi sebagai sumber bioetanol. Bonggol pisang (Gambar 4) juga dapat
dimanfaatkan untuk diambil patinya, dimana pati tersebut menyerupai pati tepung
sagu dan tepung tapioka. Bahan berpati yang digunakan sebagai bahan baku
bioetanol disarankan memiliki sifat yaitu berkadar pati tinggi, memiliki
potensi hasil panen yang tinggi, fleksibel dalam usaha tani, dan rotasi umur
panen yang pendek (Prihandana, 2007).
Gambar 4. Bonggol pisang salah
satu sumber bioetanol
Rincian singkat pengolahan bonggol
pisang menjadi etanol adalah mula-mula bonggol pisang tersebut dikupas dan
dibersihkan dari kotoran, kemudian dipotong kecil-kecil lalu dikeringkan dengan
cara dijemur dan diangin-anginkan sampai kering. Bonggol pisang diturunkan
kadar airnya hingga mencapai kering udara, dengan tujuan agar lebih awet.dan
kering sehingga dapat disimpan sebagai cadangan bahan baku (Anonim, 2008a).
Selanjutnya bonggol pisang kering digiling dengan mesin penggiling atau
ditumbuk dengan penumbuk sehingga menjadi serbuk halus. Serbuk bonggol pisang
lalu disaring atau diayak sehingga diperoleh partikel kecil yang homogen. Hasil
penelitian Assegaf (2009), menyimpulkan bahwa bonggol pisang mempunyai prospek
sebagai sumber bioetanol. Metode yang diterapkan adalah melalui hidrolisis asam
dan enzimatis, namun dari kedua metode tersebut metode hidrolisis secara
enzimatis merupakan proses yang lebih baik dibandingkan dengan menggunakan
katalis asam.
H. Singkong Karet
Singkong karet atau singkong gajah merupakan
salah satu jenis pohon singkong dimana umbinya mengandung senyawa beracun,
yaitu asam sianida (HCN), sehingga umbi tersebut tidak diperdagangkan dan
kurang dimanfaatkan oleh masyarakat (Anonim, 2009). Oleh karena itu sangat
tepat sekali bila singkong karet tersebut ini digunakan sebagai bahan baku
bioetanol. Penelitian Sriyanti (2003), menunjukkan bahwa dari tiga varietas
singkong yakni randu, mentega dan menthik, ternyata kadar gula dan alkohol
tertinggi dari hasil sakarifikasi dan fermentasi terdapat pada varietas mentega
yakni sebesar 11,8% mg (kadar gula) dan 2,94% mg (kadar alkohol). Menurut
Sugiarti (2007) dalam Setyaningsih
(2008), bahwa kandungan alkohol hasil fermentasi ubi kayu varietas randu
sebesar 51%. Menurut Ludfi (2006) dalam Setyaningsih
(2008), setelah dilakukan pengujian terhadap kadar alcohol pada hasil
fermentasi ampas umbi singkong karet, maka hasil penelitian menunjukkan bahwa
kadar alkohol terendah adalah 11,70% pada waktu fermentasi 9 hari dan dosis
ragi 2 gram. Sedangkan kadar alkohol tertinggi adalah 41,67% pada waktu
fermentasi 15 hari dan dosis ragi 8 gram.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah
melakukan uji coba pengembangan energi alternatif bioetanol dari bahan dasar
singkong. Untuk menghasilkan bioetanol sekitar satu liter dibutuhkan sedikitnya
6,5 kilogram singkong. Bioetanol tersebut nantinya dapat untuk bahan bakar cair
dengan nilai oktan 40% atau seperti halnya nilai oktan minyak tanah (40%),
premium
(70%), dan bahkan pertamax (90%). Biaya produksi untuk satu
liter bioetanol dari singkong karet sekitar Rp3.000, jadi kalau dijual Rp
4.000,- lebih murah dari premium. Anonim (2007) menyatakan bahwa pada skala
usaha rumah tangga, dari 6,5 kg singkong dengan kandungan karbohidrat 24% akan
dihasilkan 1 liter bioetanol.
I.
Talas (Colocasia
esculenta)
Tanaman talas bentul (Colocasia esculenta L.) mempunyai nama lain dalam bahasa Inggris
yaitu taro, old cocoyam, dasheen, eddoe, dan dalam bahasa Prancis
adalah taro. Di Indonesia dikenal
dengan nama bentul, talas dan keladi. Tanaman ini tumbuh dengan baik di tanah
yang basah dengan temperatur 25 – 30oC dan dengan kelembaban yang
tinggi. Talas tumbuh pada ketinggian 1200 m dpl (dari permukaan laut) di
Malaysia, di Filipina 1800 m dpl, dan bahkan 2700m dpl di Papua New Guinea.
Tanaman ini toleran terhadap naungan (tempat teduh) dan ditanam sebagai
tumbuhan selingan pada pertanian. Kadar pati umbi talas 66,8% dengan kadar air
sekitar 7,2%.
Retno (2008) melakukan penelitian
pembuatan bioetanol dari tepung talas. Setelah dikeringkan tepung talas
selanjutnya menjalani perlakuan reaksi hidrolisa dengan bio katalis (enzim)
alpha amylase pada pH 6,9 suhu 80oC, dan enzim glucoamylase pada pH
4,8 suhu 55oC untuk menghasilkan glukosa. Bioetanol yang diperoleh
dari 8,7kg tepung talas sebesar 1006 ml. Biaya yang dibutuhkan pada pembuatan
bioetanol (FGE) dari tepung talas dengan kadar 99,4 %, sebesar Rp. 6.625,-/
liter.
III.
BIOETANOL SEBAGAI SUMBER ENERGI
TERBARUKAN RAMAH LINGKUNGAN
Penggunaan bioetanol sebagai campuran
bahan bakar minyak (BBM) dapat mengurangi emisi karbon monooksida dan senyawa
lain(asap, gas, dan partikel padat timbal) dari kendaraan. Hal ini sudah
dibuktikan oleh beberapa negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikan bioetanol
tersebut, seperti Brasil dan Jepang. Perkembangan bisnis bioetanol di Indonesia
seharusnya juga bisa menyamai kedua negara tersebut. Dengan melimpahnya bahan
baku, seharusnya kita bisa menggantikan sebagian pemakaian BBM yang sudah
semakin langka dengan bioetanol. Selain
untuk bahan bakar, bioethanol (FGE) dapat digunakan untuk
industri kimia, farmasi, kedokteran, kosmetik, bahan baku aneka minuman, dan
sebagainya.
Bioetanol dapat dijadikan pengganti bahan bakar minyak tanah. Selain
hemat, pembuatannya dapat dilakukan di rumah sendiri dengan mudah. Selain itu
juga pengoperasian bioetanol lebih ekonomis dibandingkan menggunakan minyak
tanah. Bila sehari menggunakan minyak tanah seharga Rp 16.000,-, maka dengan
bioetanol dapat menghemat Rp 4.000,-. Pengalaman membuat dan menggunakan
bioetanol ini diceritakan oleh seseorang bernama Bambang Kisudono, warga kota
Surabaya yang memanfaatkan sampah dapur rumahnya untuk membuat dan
mengembangkan bioetanol di lingkungan tempat tinggalnya. Awalnya Lembaga
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Institut Teknologi Surabaya
(ITS) Surabaya dari kajiannya menyimpulkan bahwa kompor yang dirancang khusus
untuk bioetanol (Gambar 5) terbukti lebih efisien dibandingkan kompor kerosin
(minyak tanah/konvensional). Hal ini mendorong orang tersebut melakukan
pengolahan bioetanol sendiri.
Gambar 5. Kompor bioetanol
Untuk kompor rumah tangga, perbandingan
(rasio) penggunaan bioetanol dan minyak tanah adalah 1:3. Artinya adalah dengan
3 liter minyak tanah efisiensi panas yang dihasilkan akan setara dengan satu
liter bioetanol. Dengan volume 100cc bioetanol akan membuat api menyala sekitar
30 - 40 menit. Bahkan menurut peneliti bioetanol Ir Sri Nurhatika MP di ITS,
Surabaya, mengemukakan penggunaan bioetanol akan lebih efisien lagi karena 1
liter bioetanol sama dengan 9 liter minyak tanah. Bahan baku untuk pembuatan bioetanol
terbagi tiga, yaitu bahan berpati, bergula, dan bahan berselulosa. Bahan baku
bergula, misalnya adalah tebu, nira, dan aren. Sedangkan bahan berpati,
misalnya sagu, ubi kayu, jagung, biji sorgum, dan kentang manis. Bahan ini
umumnya dimakan oleh manusia. Sehingga sebaiknya pengembangan bioetanol masa depan lebih ditujukan kepada
penggunaan bahan yang tidak dikonsumsi manusia,
sehingga tidak mengganggu ketahanan pangan nasional.
Selanjutnya bahan berlignoselulosa contohnya adalah TKKS, dimana polimer
selulosa lebih sulit diuraikan (dihidrolisis) daripada polimer pati dan hal ini
perlu diperhatikan.
IV. PENUTUP (PELUANG DAN PROSPEK)
Bioetanol diharapkan dapat merupakan
bahan bakar alternatif masa depan yang ramah lingkungan dan bersifat renewable, untuk menggantikan sebagian
atau melengkapi konsumsi bahan bakar fosil (minyak bumi) yang kurang ramah
lingkungan dan persediaannya semakin terbatas. Di Indonesia terdapat berbagai
macam bahan baku berkarbohidrat tinggi yang potensial untuk dikonversi menjadi
bioetanol seperti sagu, tandan kosong kelapa sawit, ganyong, nira sorgum, tetes
tebu, jerami padi dan bonggol pisang.
Diantara berbagai macam bahan baku
tersebut, sagu cukup menarik perhatian untuk dimanfaatkan patinya sebagai bahan
konversi menjadi bioetanol. Ini disebabkan potensi hutan alam sagu Indonesia
sangat luas, akan tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Mengingat variasi
genetik sagu yang terbesar di dunia, Indonesia berpeluang besar untuk
mengembangkan sagu tersebut sebagai sumber energi alternatif masa datang. Untuk
menutupi kebutuhan pangan dari sagu hanya 5% dari potensinya yang ada, sehingga
sisanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bioetanol. Untuk pengembangan
budidaya sagu, masyarakat selama ini sudah mengenal teknik perbanyakan tanaman
sagu secara vegetatif, sehingga untuk mendorong masyarakat lebih giat
membudidayakan sagu tidak sulit. Pemanfaatan hutan alam sagu, maupun hutan
tanaman sagu, yang diiringi pengembangan budidaya serta berdirinya industri
bioetanol dapat menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga akhirnya diharapkan
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2005. Kelayakan Tekno-Ekonomi Bio-Ethanol sebagai
bahan bakar alternatif terbaru kan. Balai Besar Teknologi Pati – BPPT. Jakarta.
. 2007a. Apa itu Bioetanol ?.
http://www.nusantara-agro-industri.com.
Diakses tanggal 20 April 2009.
. 2007b.
Kebun penghasil bensin – bioetanol. http:/www.trubus-online.com. Diakses tanggal 16
Januari 2008.
. 2008a. Bio Ethanol
Alternatif BBM. http://www. energibio.com/.
Diakses Desember 2008.
. 2008b. Bioetanol bahan baku singkong. The Largest Aceh Community Aceh.
. 2009. Bioetanol bahan baku singkong. http:// www.acehforum.or.id.
diakses tanggal 10 April 2009.
Assegaf, F. 2009. Prospek produksi bioetanol bonggol pisang (Musa paradisiaca) menggunakan metode
hidrolisis asam dan enzimatis. Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.
Flach,
M. 1983. Sago palm domestication, explanation, and production. FAG. Plant
production and protection. Paper. 85 pp.
.1997. Sago palm, Metroxylon sagu
Rottb. International Plant Genetic Resources Institute (IPGRI) Promoting
the Conservation and use of Underutilized and Neglected Crops, 13. IPGRI Italy
and IPK. Germany. 71 pp.
Judoamidjojo, R.M., A.A.Darwis, dan E.G.Sa’id. 1992.
Teknologi Fermentasi. Bogor: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut
Pertanian Bogor.
Khairani, R. 2007. Tanaman jagung sebagai bahan bio-fuel.
http://www.macklintmip- unpad.net/Bio-fuel/Jagung/Pati.pdf. diakses tanggal 25
Maret 2009.
Mursyidin, D. 2007. Ubi kayu dan bahan bakar terbarukan. http://www.banjarmasin.net/ pedoman%Bahan%bakar%terbarukan. Diakses tanggal 29
Maret 2008
Muthuvelayudham, R. and T. Viruthagiri. 2007. Optimizaton
and modeling of cellulase protein from Trichoderma
ressei Rut C30 using mixed substrate. African Journal of Biotechnology 6
(1): 041-046.
Nurdyastuti, I. 2008. Teknologi proses produksi
bio-ethanol, prospek pengembangan biofuel sebagai substitusi bahan bakar
minyak. Balai Besar Teknologi Pati – BPPT. Jakarta.
Patel S.J., R. Onkarappa, and K.S. Shobha. 2007. Study of
ethanol production from fungal pretreated wheat and rice straw. The Internet
Journal of Microbiology 4 (1): www.ispub.com
Prihandana. 2007.
Bioetanol ubi kayu bahan bakar masa depan. Agromedia. Jakarta.
Putri dan D. Sukandar, 2008. Konversi Pati Ganyong (Canna Edulis Ker.) Menjadi Bioetanol
Melalui Hidrolisis Asam Dan Fermentasi. Biodiversitas Volume 9, Nomor 2 April.
Halaman: 112-116. Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah, Ciputat-Tangerang.
Retno. 2008. Pengolahan bonggol pisang menjadi keripik
yang dapat diperdagangkan dan dijadikan tambahan pendapatan bagi petani di desa
Mangunrejo Kecamatan Kepanjen.
Rukmana, R. 2000.
Ganyong,budidaya dan pascapanen. Yogyakarta: Kanisius.
Sari, R. P. P. 2009.
Pembuatan etanol dari nira sorgum dengan proses fermentasi.Jurusan Teknik
Kimia, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro. Semarang.
Setyaningsih. 2008. Kadar glukosa dan bioetanol hasil
fermentasi gaplek singkong karet (Monihot
glaziovii Muell) dengan dosis ragi dan waktu berbeda. Program Studi
Pendidikan Biologi. Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadyah Surakarta.
Sriyanti, D.P. 2003. Mikrostek talas (Colocasia esculenta) pada berbagai macam media MS dan alami. Seminar
teknologi pertanian spesifik lokasi dalam upaya peningkatan kesejahteraan
petani dan pelestarian lingkungan. Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Yogyakarta.
Surendro,H. 2006.
”Biofuel”, DJLPE ,Jakarta
Tarigan. D. D. 2001. Sagu memantapkan swasembada pangan.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 23 (5): 1-3
Wulansari, I. 2004. Kajian Pengaruh Dosis α-Amilase dan
Dextrozyme pada Pembuatan Sirup Glukosa dari Pati Sagu. [Skripsi]. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Wyman, C. E. 2002. “Potential Synergies and Challenges in
Refining Cellulosic Biomass to Fuels” Biotechnol Progress.
sumber
No comments:
Post a Comment